Total Tayangan Halaman

Minggu, 18 Maret 2012

Biografi K.H. Maimoen Zubair

Jika matahari terbit dari timur, maka mataharinya para santri ini terbit dari Sarang. Pribadi yang santun, jumawa serta rendah hati ini lahir pada hari Kamis, 28 Oktober 1928. Beliau adalah putra pertama dari Kyai Zubair. Seorang Kyai yang tersohor karena kesederhanaan dan sifatnya yang merakyat. Ibundanya adalah putri dari Kyai Ahmad bin Syu’aib, ulama yang kharismatis yang teguh memegang pendirian.

Mbah Moen, begitu orang biasa memanggilnya, adalah insan yang lahir dari gesekan permata dan intan. Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan. Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan ketegasan. Namun dalam pribadi Mbah Moen, semua itu tersinergi secara padan dan seimbang.

Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut mengeras. Beliau adalah gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang. Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri. Beliau membuktikan bahwa ilmu tidak harus menyulap pemiliknya menjadi tinggi hati ataupun ekslusif dibanding yang lainnya.

Kesehariannya adalah aktualisasi dari semua itu. Walau banyak dikenal dan mengenal erat tokoh-tokoh nasional, tapi itu tidak menjadikannya tercerabut dari basis tradisinya semula. Sementara walau sering kali menjadi peraduan bagi keluh kesah masyarakat, tapi semua itu tetap tidak menghalanginya untuk menyelami dunia luar, tepatnya yang tidak berhubungan dengan kebiasaan di pesantren sekalipun.

Kematangan ilmunya tidak ada satupun yang meragukan. Sebab sedari balita ia sudah dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama. Sebelum menginjak remaja, beliau diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah dan bermacam Ilmu Syara’ yang lain. Dan siapapun zaman itu tidaklah menyangsikan, bahwa ayahnda Kyai Maimoen, Kyai Zubair, adalah murid pilihan dari Syaikh Sa’id Al-Yamani serta Syaikh Hasan Al-Yamani Al- Makky. Dua ulama yang kesohor pada saat itu.

Kecemerlangan demi kecermelangan tidak heran menghiasi langkahnya menuju dewasa. Pada usia yang masih muda, kira-kira 17 tahun, Beliau sudah hafal diluar kepala kiab-kitab nadzam, diantaranya Al-Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq serta Rohabiyyah fil Faroidl. Seiring pula dengan kepiawaiannya melahap kitab-kitab fiqh madzhab Asy-Syafi’I, semisal Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab dan lain sebagainya.

Pada tahun kemerdekaan, Beliau memulai pengembaraannya guna ngangsu kaweruh ke Pondok Lirboyo Kediri, dibawah bimbingan KH. Abdul Karim yang terkenal dengan Mbah Manaf. Selain kepada Mbah Manaf, Beliau juga menimba ilmu agama dari KH. Mahrus Ali juga KH. Marzuqi.

Di pondok Lirboyo, pribadi yang sudah cemerlang ini masih diasah pula selama kurang lebih lima tahun. Waktu yang melelahkan bagi orang kebanyakan, tapi tentu masih belum cukup untuk menegak habis ilmu pengetahuan.

Tanpa kenal batas, Beliau tetap menceburkan dirinya dalam samudra ilmu-ilmu agama. Sampai pada akhirnya, saat menginjak usia 21 tahun, beliau menuruti panggilan jiwanya untuk mengembara ke Makkah Al-Mukarromah. Perjalanan ini diiringi oleh kakeknya sendiri, yakni KH. Ahmad bin Syu’aib.

Tidak hanya satu, semua mata air ilmu agama dihampirinya. Beliau menerima ilmu dari sekian banyak orang ternama dibidangnya, antara lain Sayyid ‘Alawi bin Abbas Al-Maliki, Syaikh Al-Imam Hasan Al-Masysyath, Sayyid Amin Al-Quthbi, Syaikh Yasin bin Isa Al- Fadani dan masih banyak lagi.

Dua tahun lebih Beliau menetap di Makkah Al- Mukarromah. Sekembalinya dari Tanah suci, Beliau masih melanjutkan semangatnya untuk “ngangsu kaweruh” yang tak pernah surut. Walau sudah dari Arab, Belaiau masih meluangkan waktu untuk memperkaya pengetahuannya dengan belajar kepada Ulama-ulama’ besar tanah Jawa saat itu. Diantara yang bisa disebut namanya adalah KH. Baidlowi (mertua beliau), serta KH. Ma’shum, keduanya tinggal di Lasem. Selanjutnya KH. Ali Ma’shum Krapyak Jogjakarta, KH. Bisri Musthofa, Rembang, KH. Abdul Wahhab Hasbullah, KH. Mushlih Mranggen, KH. Abbas, Buntet Cirebon, Sayikh Ihsan, Jampes Kediri dan juga KH. Abul Fadhol, Senori.

Pada tahun 1965 beliau mengabdikan diri untuk berkhidmat pada ilmu-ilmu agama. Hal itu diiringi dengan berdirinya Pondok Pesantren yang berada disisi kediaman Beliau. Pesantren yang sekarang dikenal dengan nama Al-Anwar. Satu dari sekian pesantren yang ada di Sarang.

Keharuman nama dan kebesaran Beliau sudah tidak bisa dibatasi lagi dengan peta geografis. Banyak sudah ulama-ulama dan santri yang berhasil “jadi orang” karena ikut di-gulo wentah dalam pesantren Beliau. Sudah terbukti bahwa ilmu-ilmu yang Belaiu miliki tidak cuma membesarkan jiwa Beliau secara pribadi, tapi juga membesarkan setiap santri yang bersungguh-sungguh mengecap tetesan ilmu dari Beliau.

Tiada harapan lain, semoga Allah memanjangkan umurnya, juga melindungi Beliau demi kemaslahatan kita bersama di dunia dan akherat. Amin

Biografi K.H. Masduqie Mahfudz

KH. Drs. Achmad Masduqi Machfudz dilahirkan di desa Saripan (Syarifan) Jepara Jawa Tengah pada 1 Juli 1935. Di desa tersebut, terdapat sebuah makam kuno yang banyak dikenal orang dengan Mbah Jenggolo. Alkisah, berkat karomah dari Mbah Jenggolo ini, dulu ketika baru ada radio dan televisi, siapa saja yang membawa ke desa ini pasti gila. Penyakit gila ini baru akan sembuh kalau kedua alat elektronik dikeluarkan dari Saripan. Keadaan seperti ini masih bisa ditemui semasa Kyai Masduqi masih kecil. Namun perlahan-perlahan seiring dengan perubahan zaman, karomah ini berangsur surut hingga hilang sama sekali.

Melihat lingkungannya yang seperti itu, ditambah dengan lingkungan keluarga yang taat dan fanatik terhadap agama serta memiliki semangat juang yang tinggi untuk menegakkan kebenaran dan menyebarkan agama Allah.

-Jalur Keturunan dari Ayah-
Jika dilihat dari jalur keturunan Ayah ini, tidak dapat diketahui secara terperinci tetapi yang jelas seluruh keluarga beliau adalah termasuk orang-orang yang gigih berjuang dalam mensyiarkan agama Allah. Jalur keturunan ayah ini terputus hingga kakek beliau saja.

Kakek beliau ini termasuk tokoh agama yang disegani dalam lingkungan masyarakat mereka. Perjuangannya tidak hanya terhadap orang awam saja, melainkan kepada seluruh lapisan masyarakat bahkan yang jahat sekalipun. Beliau bahkan dengan gigih menaklukkan orang-orang jahat yang banyak berkeliaran saat itu. Hingga beliau mampu merubah pola tingkah laku mereka itu menjadi orang yang taat menjalankan agama Allah.

Semangat jihad, fanatik dan ketaatan menjalankan agama serta keberanian membela kebenaran ini secara terus menerus ditempa dan ditekankan oleh Kyai Machfudz, Kyai Masduqi. Maka tidak heran bila sifat-sifat tersebut sangat melekat pada diri Kyai Masduqi dalam menegakkan agama Allah.

-Jalur Keturunan dari Ibu-
Bila ditelusuri dari garis keturunan ibu ini dapat dilihat dari Syeikh Abdullah al Asyik Ibn Muhammad. Beliau adalah seorang Jogoboyo dari kerajaan Mataram. Alkisah salah satu keampuhan beliau adalah setiap ada mara bahaya yang akan mengancam kerajaan, beliau memukul bedug untuk mengingatkan penduduk dari cukup dari rumahnya. Suara bedug ini terdengar keseantero kerajaan Mataram. Pada makamnya yang terletak di Tayu Pati, tertulis "Makom niki dipun bangun Bagus Salman bongso jin" (makam ini dibangun Bagus Salman bangsa Jin).

Dari Syeikh Abdullah al Asyik inilah menurunkan nenek KH. Achmad Masduqi Machfudz yaitu Nyai Taslimah. Dikalangan masyarakat Nyai Taslimah sebagai seorang pewaris perjuangan Syeikh Abdullah al Asyik Ibn Muhammad, dikenal sebagai seorang penyebar agama. Ditangannya tidak sedikit orang yang diislamkan. Mereka yang asalnya belum beragama dengan baik akhirnya menjadi santri Nyai Taslimah.

Dari pernikahannya dengan Kyai Asmo Dul, Nyai Taslimah dikaruniai dua rang putri, yaitu Chafshoh dan Masfufah. Beliau juga mengangkat seorang anak angkat yang bernama Suyuti.

Putri beliau yang pertama; Chafsoh dipersunting oleh Kyai Machfudz, putra dari Bapak Arso Husein dengan Ibu Saumi. Dari pernikahan ini, keduanya dikarunia 14 putra-putri. Mereka ini adalah:

Muainamah (Alm)
Achmad Fahrurrazi (Alm)
Khadijah (Alm)
Achmad Masduqi (Malang)
Sa'adah (Alm)
Achmad Said (Alm)
Sofiyah (Alm)
Achmad Shohib (Alm)
Achmad Zahid (Malang)
Ahmed Mas'udi (Jakarta)
Achmad Zahri (Alm)
Achmad Maskuri (Alm)
Aslihah (Malang)
Achmad Mujab (Jepara)
Dari keempat belas putra-putri Nyai Chafsoh ini, tujuh diantaranya meninggal dunia ketika masih kecil dan remaja. Kyai Masduqi merupakan putra keempat dan merupakan putra sulung yang hidup.

-Kehidupan Keluarga KH. Achmad Masduqi Machfudz-
KH. Achmad Masduqie Machfudz, terkenal seorang yang dalam kehidupan sehari-hari cukup sederhana. Corak kehidupan keluarga yang beliau bangun sama sekali jauh dari citra kemewahan. Kesederhanaan yang dicitrakan Kyai Machfudz sangat membias pada keluarga Kyai Masduqi. Terlebih sejak kecil, Kyai Masduqi sangat gigih dalam menekuni bidang keilmuan terutama ilmu agama. Salah satu prinsip hidup beliau adalah:

"Kalau kita sudah meraih berbagai macam ilmu terlebih ilmu agama, maka kebahagiaan yang akan kita capai tidak saja kebahagiaan akhirat, akan tetapi kebahagiaan duniapun akan teraih."

Dari hasil pernikahannya dengan Nyai Chasinah putri dari KH. Chamzawi Umar pada 7 Juli 1957 dalam usia 22 tahun, beliau dikaruniau 9 orang anak, yaitu:

1. Mushoddaqul Umam, S.Pd dilahirkan di Tarakan Kalimantan Timur, tanggal 21 Juli 1958. Saat ini di kediamannya di Jl. Danau Kerinci IV, E15, disamping kesibukan sehari-hari sebagai kepala sekolah SMA 2 malang, dan menjadi dosen di UNISMA, guru bahasa Inggris yang pernah mondok di Pesantren Roudlotul Tolibin Rembang ini, juga merintis majlis Ta'lim untuk orang tua dan siswa SD, SMP, SMU dan Mahasiswa. (mohon doanya)
2. Muhammad Luthfillah, SE, dilahirkan di Rembang Jawa Tengah pada tanggal 28 Oktober 1959. Sarjana Ekonomi dari UNIBRAW yang sebelumnya menempuh pendidikan di Pesantren Roudlotul Tolibin Rembang ini, saat ini menjadi pengurus PP.Pagar Nusa dan pembimbing KBIH Mabruro
3. dr. Moch. Shobachun Niam SpB-KBD. dilahirkan di Samarinda Kalimantan Timur pada 25 Agustus 1961, alumnus Pesantren Roudlotut Tolibin Rembang ini, menjadi dokter spesialis bedah di malang, yang pernah menamatkan studi di Universitas Brawijaya, sempat dikirim ke poliwali -sulawesi juga manjabat sebagai pengurus PBNU sulawesi yang sekarang meneruskan studi S3 kedokteran di semarang.
4. M. Taqiyyuddin Alawiy, dilahirkan di Malang pada 8 April 1963. Setelah menyelesaikan studi di Pesantren Al Anwar Sarang Rembang, meneruskan studi di Fakultas Tehnik UNISMA Malang. Saat ini, disamping menjadi dosen di Institusi yang sama, juga menjadi Rais Syuriah MWC Kedung Kandang Malang, juga sebagai pengajar di pesantren Nurul Huda Malang.
5. Dra. Roudlotul Hasanah, dilahirkan di Malang pada 8 Maret 1965, setelah mondok di Pesantren Tambakberas Jombang, memperoleh gelar Sarjana Bahasa Inggris di IAIN Malang (sekarang UIN), dalam kesehariaannya mengajar di MTSN Sepanjang Gondalegi Malang, yang sekarang menyelesaikan studi S2 di universitas malang, juga menjadi salah seorang tenaga pengajar pada Pesantren Nurul Huda Malang.
6. Isyroqunnadjah, M.Ag. dilahirkan di Malang pada 18 Februari 1967, menyelesaikan studi S2 di PPS IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Saat ini alumnus Pesantren Lirboyo Kediri ini, disamping menjadi Ketua Program Bahasa Arab di UIN, menjadi Mudirul Ma'had di pondok UIN malik ibrahim malang, juga menjadi wakil sekretaris Rabithah Maahidil Islam, Cabang Malang.
7. Dra. Badiatus Shidqoh, dilahirkan di Malang pada 11 April 1968. saat ini alumnus Pesantren Tambakberas Jombang ini menjadi tenaga pengajar pada STIE Malangkucecwara Malang, juga menjadi pengasuh PonPes Tahfidzul Qur'an Nurul Huda malang
8. Fauchatul Fithriyyah. S.Ag. dilahirkan di Malang pada 25 Agustus 1970, Memperoleh gelar sarjana di STAIN Malang (sekarang UIN) setelah sebelumnya mondok di PP. Maslakul Huda Kajen Pati Jateng, mengelola beberapa TPQ binaan Pesantren Nurul Huda, juga menjadi tenaga pengajar pada Pesantren Nurul Huda Malang.
9. Achmad Shampton Mas, SHI. dilahirkan di Malang pada 23 April 1972, selepas SMP, mondok di Pesantren Lirboyo Kediri dan beberapa Pesantren di sekitar Kediri. Memperoleh gelar sarjana di STAIN Malang (sekarang UIN), saat ini menjadi pengurus di departemen agama malang, yang juga menjadi khodim/pengajar Pesantren Nurul Huda

Sebelum memasuki dunia perkuliahan seluruh putra dan putri beliau tanpa kecuali diharuskan mengenyam pendidikan di pesantren. Ini merupakan prinsip yang ditanamkan Kyai Masduqi para putra putrinya. Dari pengalaman mengaji di pesantren ini, meskipun background pendidikan putra putri beliau beragam, mereka mampu menjalankan amanah dakwah di tengah-tengah masyarakat.

-Pendidikan Formal-
KH. Achmad Masduqi Machfudz terlahir di tengah-tengah keluarga religius yang taat dan fanatik terhadap agama Islam. Sehingga sejak kecil beliau sudah dihiasi dengan tingkah laku, sikap dan pandangan hidup ala santri. Karena itu pula, Kyai Machfudz orang tua beliau tidak menghendaki Kyai Masduqi kecil untuk bersekolah di sekolah umum, cukup di sekolah agama saja.

Tetapi larangan orang tua ini tidak mematahkan semangat Kyai Masduqi kecil untuk mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan yang tidak terbatas hanya dibidang agama saja. Dengan semangat tinggi, Kyai Masduqi menimba ilmu di pesantren dan sekolah umum dengan biaya sendiri dengan menyempatkan berkeliling menjual sabun dan kebutuhan yang lain tanpa sepengetahuan kyai atau orang tuanya sendiri.

-Adapun pendidikan formal yang telah beliau selesaikan antara lain:-

Sekolah Rakyat di Jepara, 1942 - 1948
SMP di Jepara, 1950 - 1953
Sekolah Guru Hakim Agama (SGHA) di Yogyakarta, 1953 - 1957
IAIN Sunan Ampel Malang, 1962 - 1966
IAIN Sunan Ampel Malang (program doktoral) 1975 - 1977
Ketekunan, keuletan dan semangat juang yang tinggi, Kyai Masduqi akhirnya mampu meraih berbagai macam ilmu pengetahuan baik dibidang agama maupun pengetahuan umum.

-Pendidikan non Formal-
KH. Achmad Masduqi Mahfudz sejak berusia 5 tahun tepatnya pada tahun 1939 sudah diselenggarakan di madrasah ibtidaiyah di kampungnya yang pada waktu itu dikenal dengan istilah "Sekolah Arab", karena di sini pelajarannya semua berbahasa arab. Beliau belajar di sekolah ini selama kurang lebih lima tahun yaitu dari tahun 1939-1944, di sinilah beliau mulai mempelajari dasar-dasar berbahasa arab dan agama Islam.

Kemudian setelah beliau menyelesaikan sekolahnya dan mempunyai dasar yang cukup, beliau meneruskan belajarnya di pondok pesantren Jepara. Di sini beliau belajar kurang lebih selama 8 tahun, yakni dari tahun 1945 - 1953, dan menyelesaikan Madrasah Tsanawiyah pondok selama 3 tahun.

Pondok pesantren Jepara ini diasuh oleh Kyai Abdul Qadir, di sini beliau belajar ilmu-ilmu alat yakni nahwu dan shorof, fiqih, tauhid dan lain-lain, karena beliau belajar di sini sudah cukup lama, maka tidak heran jika ilmu-ilmu tersebut sedikit banyak telah beliau kuasai.

Setelah menyelesaikan pelajarannya di pondok pesantren Jepara, beliau masih merasa belum cukup ilmu pengetahuan agamanya, dan akhirnya beliau pergi untuk belajar di Pondok Pesantren Krapyak.

Selasa, 13 Maret 2012

air, api, dan tanah di warung ketan

di warung ketan tercinta
kukenang saat ketika 3 orang lelaki sedang menentukan masa depannya
air, api, dan tanah
air yang menghidupi seluruh alam, menyuburkan tanaman, mengusir dahaga, menjernikan kesesatan
api yang berkobar tiada henti, tak peduli siapa yang menghadang didepan akan dibakarnya, yang sekarang telah menjadi api biru yang dapat melihat mana musuh yang harus dibakar, mana musuh yang harus dilindungi
tanah yang tak lekang oleh zaman, tak habis tergerus air walaupun banjir menghampiri, tak hangus terbakar api ketika wabah datang, sosok yang kalem, pelan, tenang, walau kadang dapat menimbulkan gempa, tetapi sekarang sudah apa paku yang menancap ditanah, tidak lagi bergetar, walau bumi bergemuruh, tak lagi hanyut, saat air menghapirinya.

Disini di warung ketan tercinta

Selasa, 06 Maret 2012

kau yang dahulu kucinta

keindahanmu telah pudar, sekarang tak ada lagi yang bisa kau banggakan, kecuali perhiasan usangmu yang sebentar lagi terlebur dalam neraka yang kau ciptakan sendiri.

Bagaimana kau bisa kubanggakan kalau kau memang tak mau dibanggakan.

Bagaimana kau bisa kucinta kalau kau kering akan itu.
Lalu, maumu apa? Berharap hujan emas, mengharapkan keberuntungan yang mustahil?

Ah, aku bingung mau kuapakan kau.
Kucampakkan, kumasih cinta
kupertahankan, kau mulai rusak, kau pun mulai mencintai liang lahat, bukannya tahta

Aku Harus Bagaimana

bagaimana aku bisa menutup mata ketika sekeliling pandangan sudah rusak tak layak dilihat,
kecuali Kau butakan mataku

bagaimana aku bisa menutup telinga ketika suara- suara didunia bernyanyi sumbang,
kecuali Kau tulikan telingaku

bagaimana aku dapat menutup mulutku, ketika nada galau bersenandung,
kecuali Kau bisukan mulutku

Dosakah aku melihat pemandangan yang tak layak.
Apakah aku salah mendengarkan nada sumbang dunia.
Apkah aku tetap bisa bersenandung keyakinan ketika semua mulai membunuh dirinya sendiri.