Total Tayangan Halaman

Kamis, 02 Mei 2013

Filsafat Gedang Goreng


Falsafah Gedang Goreng
"Jadilah seperti Padi semakin berisi semakin merunduk", itu sudah sering terdengar di telinga kita sejak SD dahulu, yang berartikan semakin mempunyai banyak ilmu tidak membuat kita jumawa dan berbangga sehingga mendongakkan keatas akan ilmunya, akan tetapi lebih merunduk, rendah diri, merasa kurang, itu adalah implementasi dari Ilmu Padi.

Adapun Falsafah "Gedang Goreng" ini tercetus dibenak saya yang mengamati ketika dunia mulai berubah. Dahulu sebelum tahun 1990 dikalangan pondok pesantren, sekolah formal entah SMP, SMA, maupun Kuliah sangat sedikit sekali bahkan jarang peminatnya. begitu juga dengan orang-orang akademisi saat itu yang memandang rendah didikan pondok pesantren. tetapi semenjak tahun 1990 keatas mulailah banyak santri berbondong-bondong sekolah umum hingga kuliah.

Ketika saya melihat keluarga K.H. Masduqie mahfudz yang mana anak-anak beliau juga cucu-cucu beliau "pasti" pernah mondok dan "pasti" bertitle sarjana.. dari sanalah "gedang goreng - gedang goreng" bermunculan. Kita yang sudah pernah mondok tidak lantas merasa puas dan cukup dengan ilmu yang sudah didapat dari pondok pesantren, adapun harus digoreng (diolah) ditempat seperti universitas atau semacamnya supaya bisa lebih matang. begitu juga dengan akademisi lebih diwajibkan belajar kepesantren dengan upaya mematangkan ilmu yang harus dia dapat dari seorang Murobbi yang sanad keilmuannya jelas dan tidak asal, tidak hanya dari forum diskusi dll. semoga bisa jadi gedang goreng yang indah, gurih, renyah dan bermanfaat. Amin

Profil Penulis
Muhammad Fairuzabady el Naguib

The Dark Side of Modern Football

'Arsenal, Loyalitas, Dan Sisi Kelam Sepakbola Modern' Hampir setiap klub di Inggris memiliki satu orang pemain yang layak disebut sebagai ikon di dalam skuad mereka saat ini. Hampir! Kesetiaan mereka terhadap klubnya sudah tidak bisa diragukan lagi dan nyaris tidak mungkin melihat pemain ini menyeberang ke klub lain. Kecuali jika usianya sudah sangat tua atau malah menghabiskan masa karir hingga pensiun di klub yang sama. Steven Gerrard di Liverpool. John Terry di Chelsea. Paul Scholes dan Ryan Giggs di Manchester United. Nama-nama ini sudah menyiapkan diri mereka sebagai legenda yang akan terus dikenang selamanya di benak para pendukung sebagai pahlawan. Sedikit anomali akan muncul jika kita mencoba melihat ke Arsenal. Tidak ada sosok seperti disebutkan di atas di sana. Berita terakhir yang memukul para pendukung Arsenal layaknya sebuah palu godam raksasa adalah saat Robin van Persie memastikan diri untuk pindah dari Emirates Stadium. Tidak tanggung-tanggung, klub yang ia tuju adalah salah satu rival abadi The Gunners: Manchester United. Kejadian ini seolah menegaskan kembali pada dunia bahwa untuk saat ini, masalah ekonomi berada di atas loyalitas di dalam sebuah klub bernama Arsenal. Cesc Fabregas. Samir Nasri. Gael Clichy. Ashley Cole. Emmanuel Adebayor. Itu adalah sederet pendek dari daftar nama-nama pemain Arsenal yang begitu saja pergi meninggalkan klubnya saat muncul tawaran yang lebih menggiurkan dari klub lain. Bahkan terkadang, tawaran tersebut seolah memang dipastikan akan datang. Karena pemain-pemain ini menolak untuk menandatangani kontrak untuk jangka panjang. Di United, Paul Scholes, Gary Neville, bahkan Edwin Van der Sar mendapatkan hadiah pertandingan testimonial setelah mereka memutuskan untuk pensiun. Sedangkan di Arsenal, untuk saat ini tidak ada satupun pemain yang terlihat layak untuk mendapatkan hadiah semacam ini. Era di mana kesetiaan menjadi salah satu kunci dalam bermain di The Gunners tampaknya sudah mulai ditinggalkan. Emirates Stadium terlihat tidak jauh berbeda dari rumah singgah pemain yang melompat dari satu klub ke klub lainnya. Apakah ada yang salah di sini? Dari beberapa sisi, jawabannya tentu saja iya. Tujuh tahun sudah berlalu semenjak terakhir kali Arsenal mencicipi gelar juara. Pergantian ban kapten -yang seharusnya menjadi panutan untuk setiap pemain dan juga para fans- berjalan dengan begitu cepat dan kencang. Kepemimpinan di lapangan jelas menjadi hal yang layak dipertanyakan. Ini kemudian mempengaruhi ke penampilan mereka yang selalu bergerak seperti rollercoaster paling mengerikan di dunia. Tidak tertebak dan tidak konsisten. Namun tetap saja ada sisi positif dari kebijakan semacam ini. Penjualan pemain bintang selalu berarti satu hal: finansial yang lebih positif. Dari segi ekonomi sepakbola, Arsene Wenger rasanya adalah salah satu orang yang paling layak mendapat gelar Profesor -sesuai dengan julukannya. Jika klasemen memperhitungkan sisi bisnis, setidaknya akan ada satu gelar yang diraih tim ini setiap tahunnya. Lalu, ada juga sisi positif dari perkembangan pemain-pemain muda yang ada di dalam tim mereka. Semua punya kesempatan untuk bersinar. Dan semua punya kesempatan untuk (ehem) dilirik oleh klub besar dan mendapat gaji tinggi. Di awal-awal era Wenger, kita masih bisa melihat beberapa pemain yang menghabiskan karirnya di Arsenal. Nama Tony Adams menjadi salah satu yang paling dikenang karena kesetiaannya yang luar biasa. Namun setelah itu, nyaris tidak ada. Thierry Henry dan Patrick Vieira mungkin dua nama yang paling mendekati level ini -meski mereka pun pada akhirnya pergi dari tim yang membesarkan nama mereka ini. Untuk saat ini, tidak ada satu nama pun yang nyaris mendekati. Perubahan drastis semacam ini semakin terlihat saat kepemilikan Arsenal mulai dikuasi Stan Kroenke. Pebisnis ini memegang saham mayoritas tim London Utara tersebut semenjak tahun 2008 silam. Dan setelah itu kita semakin bisa melihat bintang-bintang tim ini mulai dengan mudahnya dilepas begitu saja ke rival mereka yang berminat. Tanpa peduli pengaruhnya pada peluang mereka meraih juara. Ataupun juga pada perasaan jutaan fans yang tersebar di seluruh dunia. Untuk musim baru ini, peluang Arsenal untuk meraih gelar juara EPL sangat tipis -meski bukan berarti tidak mungkin. Mereka sudah melakukan beberapa pembelanjaan yang cukup positif. Dan terlihat sudah lumayan bisa mengantisipasi kepergian Van Persie. Ditambah dengan dana segar hasil penjualan sang kapten, tidak akan mengejutkan jika Wenger menghabiskan beberapa juta pound lagi untuk satu hingga dua pemain baru. Tapi permasalahannya bukan itu. Yang kita terus pertanyakan di sini adalah: di mana letak loyalitas para pemain ini? Pemain-pemain yang bisa dengan mudah mencium badge di dadanya di satu pekan, dan kemudian berbicara mengenai keinginan untuk pindah ke klub lain di pekan berikutnya. Entah ini semua hasil dari sebuah sistem yang lebih mengutamakan untung-rugi dibandingkan dengan permainan itu sendiri, atau memang ketamakan seorang pemain yang mencari penghasilan lebih tinggi menjadi elemen yang lebih dominan daripada kecintaan pada klub. Selamat datang di Sepakbola Modern!