Total Tayangan Halaman

Rabu, 31 Juli 2013

PROSES MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA (NUSANTARA)


MUQADDIMAH
Dalam kajian ilmu sejarah, tentang masuknya Islam di Indonesia masih “debatable”. Oleh karena itu perlu ada penjelasan jernih dahulu tentang penegrtian “masuk”, antara lain:
1.       Dalam arti sentuhan (ada hubungan dan ada pemukiman Muslim).
2.       Dalam arti sudah berkembang adanya komunitas masyarakat Islam.
3.       Dalam arti sudah berdiri Islamic State (Negara/kerajaan Islam).
Selain itu juga masing-masing pendapat penggunakan berbagai sumber, baik dari arkeologi, beberapa tulisan dari sumber barat, dan timur. Disamping jiga berkembang dari sudut pandang Eropa Sentrisme dan Indonesia Sentrisme.
Beberapa Pendapat Tentang Awal Masuknya Islam di Indonesia.
1.       Islam Masuk ke Indonesia Pada Abad ke 7:
1.       Masuknya islam di Indonesia (di Aceh), sebagian dasar adalah catatan perjalanan Al mas’udi, yang menyatakan bahwa pada tahun 675 M, terdapat utusan dari raja Arab Muslim yang berkunjung ke Kalingga. Pada tahun 648 diterangkan telah ada koloni Arab Muslim di pantai timur Sumatera.
2.       Dari Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History (1954), diterangkan bahwa kaum Muslimin masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M yang dilakukan oleh para pedagang muslim yang selalu singgah di sumatera dalam perjalannya ke China.
3.       Dari Gerini dalam Futher India and Indo-Malay Archipelago, di dalamnya menjelaskan bahwa kaum Muslimin sudah ada di kawasan India, Indonesia, dan Malaya antara tahun 606-699 M.
4.       Prof. Sayed Naguib Al Attas dalam Preliminary Statemate on General Theory of Islamization of Malay-Indonesian Archipelago (1969), di dalamnya mengungkapkan bahwa kaum muslimin sudah ada di kepulauan Malaya-Indonesia pada 672 M.
5.       Prof. Sayed Qodratullah Fatimy dalam Islam comes to Malaysiamengungkapkan bahwa pada tahun 674 M. kaum Muslimin Arab telah masuk ke Malaya.
6.       Prof. S. muhammmad Huseyn Nainar, dalam makalah ceramahnay berjudul Islam di India dan hubungannya dengan Indonesia, menyatakan bahwa beberapa sumber tertulis menerangkan kaum Muslimin India pada tahun 687 sudah ada hubungan dengan kaum muslimin Indonesia.
7.       W.P. Groeneveld dalam Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled From Chinese sources, menjelaskan bahwa pada Hikayat Dinasti T’ang memberitahukan adanya Aarb muslim berkunjung ke Holing (Kalingga, tahun 674). (Tashih = Arab Muslim).
8.       T.W. Arnold dalam buku The Preching of Islam a History of The Propagation of The Moslem Faith, menjelaskan bahwa Islam datang dari Arab ke Indonesia pada tahun 1 Hijriyah (Abad 7 M).



1.       Islam Masuk Ke Indonesia pada Abad ke-11:
1.       Satu-satunya sumber ini adalah diketemukannya makam panjang di daerah Leran Manyar, Gresik, yaitu makam Fatimah Binti Maimoon dan rombongannya. Pada makam itu terdapat prasati huruf Arab Riq’ah yang berangka tahun (dimasehikan 1082)
2.       Islam Masuk Ke Indonesia Pada Abad Ke-13:
1.       Catatan perjalanan marcopolo, menyatakan bahwa ia menjumpai adanya kerajaan Islam Ferlec (mungkin Peureulack) di aceh, pada tahun 1292 M.
2.       K.F.H. van Langen, berdasarkan berita China telah menyebut adanya kerajaan Pase (mungkin Pasai) di aceh pada 1298 M.
3.       J.P. Moquette dalam De Grafsteen te Pase en Grisse VergelekenMet Dergelijk Monumenten uit hindoesten, menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13.
4.       Beberapa sarjana barat seperti R.A Kern; C. Snouck Hurgronje; dan Schrieke, lebih cenderung menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13, berdasarkan saudah adanya beberapa kerajaaan islam di kawasan Indonesia.
Siapakah Pembawa Islam ke Indonesia?
Sebelum pengaruh islam masuk ke Indonesia, di kawasan ini sudah terdapat kontak-kontak dagang, baik dari Arab, Persia, India dan China. Islam secara akomodatif, akulturasi, dan sinkretis merasuk dan punya pengaruh di arab, Persia, India dan China. Melalui perdagangan itulah Islam masuk ke kawasan Indonesia. Dengan demikian bangsa Arab, Persia, Indiadan china punya nadil melancarkan perkembangan islam di kawasanIndonesia.
Gujarat (India)
Pedagang islam dari Gujarat, menyebarkan Islam dengan bukti-bukti antar lain:
1.       ukiran batu nisan gaya Gujarat.
2.       Adat istiadat dan budaya India islam.
Persia
Para pedagang Persia menyebarkan Islam dengan beberapa bukti antar lain:
1.       Gelar “Syah” bagi raja-raja di Indonesia.
2.       Pengaruh aliran “Wihdatul Wujud” (Syeh Siti Jenar).
3.       Pengaruh madzab Syi’ah (Tabut Hasan dan Husen).
Arab
Para pedagang Arab banyak menetap di pantai-pantai kepulauanIndonesia, dengan bukti antara lain:
1.       Menurut al Mas’udi pada tahun 916 telah berjumpa Komunitas Arab dari Oman, Hidramaut, Basrah, dan Bahrein untuk menyebarkan islam di lingkungannya, sekitar Sumatra, Jawa, dan Malaka.
2.       munculnya nama “kampong Arab” dan tradisi Arab di lingkungan masyarakat, yang banyak mengenalkan islam.
China
Para pedagang dan angkatan laut China (Ma Huan, Laksamana Cheng Ho/Dampo awang), mengenalkan islam di pantai dan pedalaman Jawa dan sumatera, dengan bukti antar lain :
1.       Gedung Batu di semarang (masjid gaya China).
2.       Beberapa makam China muslim.
3.       Beberapa wali yang dimungkinkan keturunan China.
Dari beberapa bangsa yang membawa Islam ke Indonesia pada umumnya menggunakan pendekatan cultural, sehingga terjadi dialog budaya dan pergaulan social yang penuh toleransi (Umar kayam:1989)
Proses Awal Penyebaran Islam di Indonesia
1. Perdagangan dan Perkawinan
Dengan menunggu angina muson (6 bulan), pedagang mengadakan perkawinan dengan penduduk asli. Dari perkawinan itulah terjadi interaksi social yang menghantarkan Islam berkembang (masyarakat Islam).
2. Pembentukan masyarakat Islam dari tingkat ‘bawah’ dari rakyat lapisan bawah, kemudian berpengaruh ke kaum birokrat (J.C. Van Leur).
3. Gerakan Dakwah, melalui dua jalur yaitau:
a. Ulama keliling menyebarkan agama Islam (dengan pendekatan Akulturasi dan Sinkretisasi/lambing-lambang budaya).
b. Pendidikan pesantren (ngasu ilmu/perigi/sumur), melalui lembaga/sisitem pendidikan Pondok Pesantren, Kyai sebagai pemimpin, dan santri sebagai murid.
Dari ketiga model perkembangan Islam itu, secara relitas Islam sangat diminati dan cepat berkembang di Indonesia. Meskipun demikian, intensitas pemahaman dan aktualisasi keberagman islam bervariasi menurut kemampuan masyarakat dalam mencernanya.
Ditemukan dalam sejarah, bahwa komunitas pesantrean lebih intens keberagamannya, dan memiliki hubungan komunikasi “ukhuwah” (persaudaraan/ikatan darah dan agama) yang kuat. Proses terjadinya hubungan “ukhuwah” itu menunjukkan bahwa dunia pesantren memiliki komunikasi dan kemudian menjadi tulang punggung dalam melawan colonial.



Fatimah binti Maimun

Description: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/9/9b/Tomb_of_Fatimah_bt_Maimun.jpeg
Description: http://bits.wikimedia.org/static-1.20wmf9/skins/common/images/magnify-clip.png
Makam Fatimah binti Maimun, di desa Leran, Manyar, Gresik. Cungkup makam berupa gedung tembok persegi dari batu kapur putih.

Fatimah binti Maimun bin Hibatullah adalah seorang perempuan beragama Islam yang wafat pada hari Jumat, 7 Rajab 475 Hijriyah (2 Desember 1082 M). Batu nisannya ditulis dalam bahasa Arab dengan huruf kaligrafi bergaya Kufi, serta merupakan nisan kubur Islam tertua yang ditemukan di Nusantara. Makam tersebut berlokasi di desa Leran, Kecamatan Manyar, sekitar 5 km arah utara kota GresikJawa Timur.
Temuan batu nisan tersebut merupakan salah satu data arkeologis yang berkenaan dengan keberadaan komunitas Muslim pertama di kawasan pantai utara Jawa Timur. Gaya Kufi tersebut menunjukkan di antara pendatang di kawasan pantai tersebut, terdapat orang-orang yang berasal dari Timur Tengah dan bahwa mereka juga merupakan pedagang, sebab nisan kubur dengan gaya Kufi serupa juga ditemukan di Phanrang, Champa selatan. Hubungan perdagangan Champa-Jawa Timur tersebut adalah bagian dari jalur perdagangan komunitas Muslim pantai pada abad ke-11 yang membentang di bagian selatan CinaIndia, dan Timur Tengah.
Legenda
Sumber tertulis tertua yang menulis legenda mengenai seorang putri dari Leran ialah Sajarah Banten, yang ditulis tahun 1662 atau 1663. Disebutkan bahwa pada masa Islamisasi Jawa, seorang bernama Putri Suwari dari Leran ditunangkan dengan raja terakhir dari Majapahit.
Moquette juga menyampaikan legenda setempat yang dicatatnya saat ia mengunjungi Leran, bahwa makam tersebut adalah kubur seorang putri raja bernama Putri Dewi Suwari, yang memainkan peranan penting di awal sejarah Islam di pulau Jawa. Putri tersebut dihubung-hubungkan dengan Maulana Malik Ibrahim (wafat 822 H/1419 M), seorang waliterkenal yang makamnya terdapat di kota Gresik, entah sebagai istrinya atau muridnya. Legenda tersebut tidak dapat diterima karena terdapat jarak 400 tahun antara kedua tokoh tersebut.
Teks nisan
Inskripsi nisan terdiri dari tujuh baris, berikut ini adalah bacaan J.P. Moquette yang diterjemahkan oleh Muh. Yamin, sbb.:[8]
  • Atas nama Tuhan Allah Yang Maha Penyayang dan Maha Pemurah
  • Tiap-tiap makhluk yang hidup di atas bumi itu adalah bersifat fana
  • Tetapi wajah Tuhan-mu yang bersemarak dan gemilang itu tetap kekal adanya
  • Inilah kuburan wanita yang menjadi kurban syahid bernama Fatimah binti Maimun
  • Putera Hibatu'llah yang berpulang pada hari Jumiyad ketika tujuh
  • Sudah berlewat bulan Rajab dan pada tahun 495[9]
  • Yang menjadi kemurahan Tuhan Allah Yang Maha Tinggi
  • Bersama pula Rasulnya Mulia
Baris 1 merupakan basmalah sedangkan baris 2-3 merupakan kutipan Surah Ar-Rahman ayat 25-26, yang umum dalam epitaf umat Muslim, terutama di Mesir.[10]

WALI SANGA

Walisongo Periode Pertama
Pada waktu Mehmed I Celeby memerintah kerajaan Turki, beliau menanyakan perkembangan agama Islam kepada para pedagang dari Gujarat. Dari mereka Sultan mendapat kabar berita bahwa di Pulau Jawa ada dua kerajaan Hindu yaitu Majapahit dan Pajajaran. Di antara rakyatnya ada yang beragama Islam tapi hanya terbatas pada keluarga pedagang Gujarat yang kawin dengan para penduduk pribumi yaitu di kota-kota pelabuhan.
Sang Sultan kemudian mengirim surat kepada pembesar Islam di Afrika Utara dan Timur Tengah. Isinya meminta para ulama yang mempunyai karomah untuk dikirim ke pulau Jawa. Maka terkumpullah sembilan ulama berilmu tinggi serta memiliki karomah. Menurut buku Haul Sunan Ampel Ke-555 yang ditulis oleh KH. Mohammad Dahlan,[1] majelis dakwah yang secara umum dinamakan Walisongo, sebenarnya terdiri dari beberapa angkatan. Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan, namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, baik dalam ikatan darah atau karena pernikahan, maupun dalam hubungan guru-murid. Bila ada seorang anggota majelis yang wafat, maka posisinya digantikan oleh tokoh lainnya. Pada tahun 808 Hijrah atau 1404 Masehi para ulama itu berangkat ke Pulau Jawa. Mereka adalah:
1.         Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, berasal dari Turki ahli mengatur negara. Berdakwah di Jawa bagian timur. Wafat di Gresik pada tahun 1419 M. Makamnya terletak satu kilometer dari sebelah utara pabrik Semen Gresik.
2.         Maulana Ishaq berasal dari Samarkand dekat Bukhara-uzbekistan/Rusia. Beliau ahli pengobatan. Setelah tugasnya di Jawa selesai Maulana Ishak pindah ke Samudra Pasaidan wafat di sana.
3.         Syekh Jamaluddin Husain atau Syekh Jumadil Qubro, berasal dari Mesir. Beliau berdakwah keliling. Makamnya di Troloyo Trowulan, Mojokerto Jawa Timur.
4.         Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko, beliau berdakwah keliling. Wafat tahun 1465 M. Makamnya di Jatinom Klaten, Jawa Tengah.
5.         Maulana Malik Isroil berasal dari Turki, ahli mengatur negara. Wafat tahun 1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
6.         Maulana Muhammad Ali Akbar, berasal dari Persia Iran. Ahli pengobatan. Wafat 1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
7.         Maulana Hasanuddin berasal dari Palestina Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya disamping masjid Banten Lama.
8.         Maulana Alayuddin berasal dari Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya disamping masjid Banten Lama.
9.         Syekh Subakir, berasal dari Persia, ahli menumbali (metode rukyah) tanah angker yang dihuni jin-jin jahat tukang menyesatkan manusia. Setelah para Jin tadi menyingkir dan lalu tanah yang telah netral dijadikan pesantren. Setelah banyak tempat yang ditumbali (dengan Rajah Asma Suci) maka Syekh Subakir kembali ke Persia pada tahun 1462 M dan wafat di sana. Salah seorang pengikut atau sahabat Syekh Subakir tersebut ada di sebelah utara Pemandian Blitar, Jawa Timur. Disana ada peninggalan Syekh Subakir berupa sajadah yang terbuat dari batu kuno.

Walisongo Periode Kedua
Pada periode kedua ini masuklah tiga orang wali menggantikan tiga wali yang wafat. Ketiganya adalah:
1.         Raden Ahmad Ali Rahmatullah, datang ke Jawa pada tahun 1421 M menggantikan Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M. Raden Rahmat atau Sunan Ampel berasal dari Champa, Muangthai Selatan (Thailand Selatan).
2.         Sayyid Ja’far Shodiq berasal dari Palestina, datang di Jawa tahun 1436 menggantikan Malik Isro’il yang wafat pada tahun 1435 M. Beliau tinggal di Kudus sehingga dikenal dengan Sunan Kudus.
3.         Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, berasal dari Palestina. Datang di Jawa pada tahun 1436 M. Menggantikan Maulana Ali Akbar yang wafat tahun 1435 M. Sidang walisongo yang kedua ini diadakan di Ampel Surabaya.
Para wali kemudian membagi tugas. Sunan Ampel, Maulana Ishaq dan Maulana Jumadil Kubro bertugas di Jawa Timur. Sunan Kudus, Syekh Subakir dan Maulana Al-Maghrobi bertugas di Jawa Tengah. Syarif Hidayatullah, Maulana Hasanuddin dan Maulana Aliyuddin di Jawa Barat. Dengan adanya pembagian tugas ini maka masing-masing wali telah mempunyai wilayah dakwah sendiri-sendiri, mereka bertugas sesuai keahlian masing-masing.

Walisongo Periode Ketiga
Pada tahun 1463 M. Masuklah menjadi anggota Walisongo yaitu:
1.         Sunan Giri kelahiran Blambangan Jawa Timur. Putra dari Syekh Maulana Ishak dengan putri Kerajaan Blambangan bernama Dewi Sekardadu atau Dewi Kasiyan. Raden Paku ini menggantikan kedudukan ayahnya yang telah pindah ke negeri Pasai. Karena Raden Paku tinggal di Giri maka beliau lebih terkenal dengan sebutan Sunan Giri. Makamnya terletak di Gresik Jawa Timur.
2.         Raden Said, atau Sunan Kalijaga, kelahiran Tuban Jawa Timur. Beliau adalah putra Adipati Wilatikta yang berkedudukan di Tuban. Sunan Kalijaga menggantikan Syekh Subakir yang kembali ke Persia.
3.         Raden Makdum Ibrahim, atau Sunan Bonang, lahir di Ampel Surabaya. Beliau adalah putra Sunan Ampel, Sunan Bonang menggantikan kedudukan Maulana Hasanuddinyang wafat pada tahun 1462. Sidang Walisongo yang ketiga ini juga berlangsung di Ampel Surabaya.

Walisongo Periode Keempat
Pada tahun 1466 diangkat dua wali menggantikan dua yang telah wafat yaitu Maulana Ahmad Jumadil Kubro dan Maulana Muhammad Maghrobi. Dua wali yang menggantikannya ialah:
Raden Patah adalah murid Sunan Ampel, beliau adalah putra Raja Brawijaya Majapahit. Beliau diangkat sebagai Adipati Bintoro pada tahun 1462 M. Kemudian membangun Masjid Demak pada tahun 1465 dan dinobatkan sebagai Raja atau Sultan Demak pada tahun 1468.Setelah itu Fathullah Khan, putra Sunan Gunungjati, beliau dipilih sebagai anggota Walisongo menggantikan ayahnya yang telah berusia lanjut.

Walisongo Periode Kelima
Dapat disimpulkan bahwa dalam periode ini masuk Sunan Muria atau Raden Umar Said-putra Sunan Kalijaga menggantikan wali yang wafat.
Konon Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang itu adalah salah satu anggota Walisongo, namun karena Siti Jenar di kemudian hari mengajarkan ajaran yang menimbulkan keresahan umat dan mengabaikan syariat agama maka Siti Jenar dihukum mati. Selanjutnya kedudukan Siti Jenar digantikan oleh Sunan Bayat – bekas Adipati Semarang (Ki Pandanarang) yang telah menjadi murid Sunan Kalijaga.
Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Pada masa Syaikh Jamaluddin Husein perjuangan dititik beratkan pada keorganisasian, dedikasi, ekonomi, kemudian dilanjutkan dalam dunia pendidikan dan pengkaderan pada masa Sayyid Malik Ibrahim sehingga dapat memasuki wilayah kerajaan tanpa campur tangan politik dan (imbalan) ekonomi. Selanjutnya pada masa Syaikh Asmoroqondi mulai dilakukan pengaturan struktur organisasi sebagai media dakwah serta memperkuat perekonomian dan spiritual. Selanjutnya pada masa Sunan Ampel dilanjutkan dengan pemetaan geografi dan antropologi, pembangunan ekonomi dan pertanian, pengelolaan tanah hadiah dari hayam wuruk dan gajah mada sehingga bisa menghidupi dakwah dan pendidikan. Selain itu, kerapian organisasi lebih disempurnakan sehingga melahirkan ketatanegaraan / negarawan, ekonom, pertanian, yang diantaranya dipegang oleh putra beliau Maulana Hasyim, seorang ulama, fuqoha, tasawwuf, ekonom, mampu memberdayakan ekonomi umat sehingga terjamin hidup fuqara, masaakin, aytam, dan para siswa.

Sunan Bonang; merupakan seorang yang 'allaamah, membidangi segala ilmu, guru besar dari para sultan / ratu, senopati, adipati, tumenggung, dan guru para wali dan ulama. Kedudukan beliau shulthaan al-auliyaa' fii zamaanihi.

Imam Ja'far Shadiq; Muhaddits dan Fuqahaa', mahir ilmu kelautan, ekonomi, dan pola pendidikan sehingga mampu menyejahterakan kerajaan dan lingkungan, serta seorang budayawan.

Sunan Kalijogo; Seorang 'alim yang sangat memahami budaya sekalipun aliran-aliran dan agama lain sehingga mampu mengendalikan segala aliran, dari situ beliau mendapat gelar kalijogo (kalinya aliran-aliran). Disamping itu, beliau merupakan budayawan, seniman, pengarag gending dan lagu yang berbentuk puisi ataupun syair, beliau juga seorang dalang yang mampu memadukan dari mahabharata menjadi carangan, dari carangan menjadi karangan dan karangan itu menjadi pakem para dalang. Media tersebut juga menjadi media dakwah.

Sunan Giri (Muhammad 'Ainul Yaqin), mahir hukum, mufti di zamannya dan fatwanya sangat ditaati, pengaruh beliau sampai pada anak cucunya, diantara keabsahan para sultan di jawa beliaulah yang melantiknya.

Sultan Abdul Fatah; 'Alim bijaksana, luas wawasannya dalam kebangsaan, seorang negarawan, seorang politisi yang sangat rapi dalam mengatur struktur pemerintahan di zamannya, pengaruh beliau sampai malaka bahkan Turki di zaman itu.

Syaikh Ali Zainal Abidin / Qadli Demak; sangat 'Allaamah, kebijakan-kebijakan beliau dalam syariat sangat dihargai pada waktu itu, beliau sangat sukses dalam menjaga pemerintahan, keamanan, dan pertahanan nasional.

Sunan Gunung Jati; Sangat 'Allamah, negarawan, budayawan, ahli strategi yang sangat mahir, pengaruhnya sangat luarbiasa di kalangan muslim maupun non muslim, disegani dan dicintai umat, menjadi pelindung umat dan bangsa.

Sunan Muria; Shulthan al-Auliyaa' fii zamanihi, pembesar ahli thariqah, budayawan, seniman, ekonom. Pengaruh beliau sangat luar biasa dari semua kalangan menengah, atas, dan bawah. Pertumbuhan thoriqoh di zamannya mekar. Beliau pendamai dan sangat disegani dan dicintai umat.

Sunan Bagus Jeporo (Syaikh Abdul Jalil); Sufi yang faqih, pengendali dari bentuk gejolak yang akan membawa perpecahan sehingga tumbuh kedamaian dan ketentraman. Syaikh Abdul Jalil ini bukan Syaikh Abdul Jalil yang Syaikh Siti Jenar.

Arti Walisongo
Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat. Atau dalam filsafat jawa, dalam tubuh manusia terdapat 9 lubang (telinga 2, mulut, mata 2, kelamin, dubur, hidung 2, [ada yang menyebut pusar]). Yang apabila kesembilan lubang itu bisa dijaga dengan kata lain tidak digunakan untuk hal yang tidak bermanfaat apalagi bermaksiat dan beribadah, maka ALLAH akan mengakat derajat seorang hamba tersebut.



Dahlan, KH. Mohammad. Haul Sunan Ampel Ke-555, Penerbit Yayasan Makam Sunan Ampel, hlm 1-2, Surabaya, 1979.
Meinsma, J.J., 1903. Serat Babad Tanah Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi ing Tahun 1647. S'Gravenhage.

Disampaikan oleh Habib Luthfi Yahya di ndalem beliau pada hari jumat tanggal 13 April 2012.

Istilah maqam, selain berarti kubur juga dapat berarti tempat menetap atau tempat yang pernah dikunjungi seorang tokoh; contohnya seperti makam Nabi Ibrahim diMasjidil Haram.
van den Berg, Lodewijk Willem Christiaan, 1886. ''Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien. Impr. du gouvernement, Batavia.
Muljana, Slamet (14 September 2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. LkiS. hlm. xxvi + 302 hlm.. ISBN9799798451163.
Russell Jones, review on Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centurieswritten by H. J. de Graaf; Th. G. Th. Pigeaud; M. C. Ricklefs, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. 50, No. 2. (1987), hlm. 423-424.
Paul Ravaisse, L'inscription coufique de Léran à Java, TBG, 65, 1925, hlm. 668-703.
J.P. Moquette, De oudste Moehammedaansche inscripte op Java (op de grafsteen te Leran), dalam Verhandelingen van het Eerste Congres voorde Taal-, Land- en Volkenkunde van Java gehouden te Solo, 25-26 December 1919, Weltevreden, 1919 (1921), hlm 291-399.
Epigrafi dan Sejarah Nusantara: Pilihan Karangan Louis-Charles Damais, Jakarta, Ecole Francaise d'Extreme Orient, 1995, hlm. 298.
M. Habib Mustopo, Kebudayaan Islam di Jawa Timur: kajian beberapa unsur budaya masa peralihan, Jendela, 2001.
Makam Fatimah Binti Maimun, www.eastjava.com, Copyrights © 1998-2012. Diakses 19 Mei 2012.
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta, 2010, ISBN 978-979-9102-12-6, hlm. 75-76.
Hoesein Djajadiningrat, Critische beschouwing van de Sadjarah Banten. Bijdrage ter kenstelling van de Javaansche Geschiedschrijving, Haarlem, 1913; terjemahan Indonesia, Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten, Jakarta, 1983, hlm. 21, 274-278.
Muhammad Yamin, Tatanegara Madjapahit, Jajasan Prapantja, Djakarta: 1962. Ejaan disesuaikan dengan EYD.
Moquette membaca 495; sedangkan pembacaan oleh Ravaisse adalah 475, demikian pula sesuai pendapat Tjandrasasmita, Damais, Lombard, dll.
Claude Guillot & Ludvik Kalus, Inskripsi Islam tertua di Indonesia, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta, 2008, ISBN 10: 979-910103-4, hlm. 21.

Kaidah Fiqh "Adat Muhakamah"

العادة محكمة
“Adat kebiasaan dapat dijadikan pijakan hukum”

A. Dasar Kaidah
Dasar kaidah ini adalah Hadis Mauquf:
ما رأه مسلمون حسنا فهو عند الله حسن (أخرجه أحمد عن إبن مسعود)
Apa yang dipandang baik oleh orang islam, maka baik pula di sisi Allah
Sebagian ulama berpendapat bahwa dasar kaidah di atas adalah Firman Allah, Surat Al-A’raf: 199).
خذ العفو العفو وأمر بالمعروف وأعرض عن الجاهلين
Berikanlah maaf (wahai Muhammad) dan perintahkanlah dengan sesuatu yang baik, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh” (QS. Al-A’raf: 199).
Setelah memperhatikan kaidah serta ayat-ayat dan hadist yang menjadi dasar kaidah, perlu kiranya dijelaskan lebih dahulu tentang Ta’rif dari Al-Adaah dan Al-Uruf serta hubungannya dengan hadist.
Menurut Al-Jurjani:
العادة ما استمر الناس عليه على حكم المعقول وعادوا إليه مرة بعد أخرى
Al-Adaah ialah sesuatu (Perbuataa atau Perkataan) yang terus menerus dilakukan oleh manusia, karena dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulang-ulangnya terus menerus
Sedangkan Al-Uruf, kebanyakan ulama Fiqih mengartikan sebagai kebiasaan yang dilakukan banyak orang (kelompok) dan timbul dari kreatifitas-imajenatif manusia dalam membangun nilai-nilai budaya.
Sedangkan Al-Uruf, terbentuk dari akar kata Al-Muta’araf, yang mempunyai makna “saling mengetahui”. Dengan demikian, proses terbentuknya adat, menurut Muhammad Shidqi adalah akumulasi dari pengulangan aktivitas yang berlangsung terus menerus. Proses pengulangan inilah yang disebut Al-‘awd wal mu’awadah. Ketika pengulangan itu membuatnya tertanam dalam hati setiap prang, maka ia telah memasuki stadium Al-Muta’araf.
Adapun “Uruf” menurut ulama Ushul Fiqih adalah:
عادة جمهور قوم فى قول او فعل
Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan
Dari definisi-definis di atas dan juga ta’rif yang diberikan oleh ulama-ulama yang lain, dapat dipahami bahwa Al-Uruf dan Al-Adah adalah searti, yang mungkin merupakan perbuatan atau perkataan. Keduanya harus betul-betul berulang-ulang dikerjakan oleh manusia, sehingga melekat pada jiwa, diterima dan dibenarkan oleh akal dan pertimbangan yang sehat serta tabiat yang sejahtera.
Hal yang demikian itu tentu merupakan hal yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syara’, sehingga merupakan yang dimaksud oleh hadis di atas, yaitu apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin.
Dengan sendirinya tidak termasuk dalam pengertian “adaah dan uruf di sini, hal-hal yang membawa kerusakan, kedurhakaan, tidak ada faedahnya sama sekali. Misalnya: Muamallah dengan riba, judi, saling daya memperdayakan, menyabung ayam dan sebagainya. Meskipun perbuatan-perbuatan itu telah menjadi kebiasaan dan mungkin bahkan tidak dirasa lagi keburukannya.
B. Syarat-Syarat Adat/Urf Dapat Dijadikan Pijakan Hukum
Suatu perbuatan dalam masyarakat, apabila sudah dapat dikategorikan dalam definisi di atas, dapat ditetapkan sebagai hukum atau dapat dijadikan sebagai sumber hukum.
Secara umum, terdapat empat syarat bagi sebuah hadis tradisi untuk dijadikan pijakan hukum, yaitu:
1. Tidak bertentangan dengan salah satu nash syari’at. Artinya ada tersebut berupa ada shahih sehingga tidak akan menganulir seluruh aspek subtansial nash. Sebab bila seluruh isi subtantif nash tidak teranulir, maka tidak dinamakan bertentangan dengan nash, karena masih terdapat beberapa unsur nash yang tidak tereliminasi.
2. Berlaku dan atau diberlakukan secara umum dan konstan (iththirad) dan menyeluruh, atau minimal dilakukan kalangan mayoritas (ghalib). Bila tidak ada yang mengerjakan, maka itu hanya sebagian kecil saja dan tidak begitu dominan. Cara mengukur konstansi adat sepenuhnya diserahkan pada penilaian masyarakat (ahl uruf), apakah ia dianggap sebagai pekerjaan yang sangat sering mereka jalankan atau tidak.
3. Perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat, syarat ini menunjukkan bahwa adat tidak berkenaan dengan perbuatan ma’siat.
4. Tidak mendatangkan Kemadlorotan serta sejalan dengan jiwa dan akal yang sejahtera.
Di antaranya perbuatan yang hukumnya oleh Rasulullah saw, ditetapkan berdasarkan adat ialah seperti yang diterangkan hadits:
قدم النبي صلى الله عليه وسلم المدينة وهم يسلفون الثمار السنة والسنتين فقال: من سلف في ثمر فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم (أخرجه البخاري عن إبن عباس)
Ketika Nabi SAW. Datang di Madinah, mereka (penduduk Madinah) telah (biasa) memberi uang panjar (uang muka) pada buah-buahan untuk waktu satu tahun atau dua tahun. “Maka Nabi bersabda: Barang siapa memberi uang panjar pada buah-buahan, maka berikanlah uang panjar itu pada takaran yang tertentu, timbangkan yang tertentu dan waktu tertentu”
Demikianlah maka semua kebiasaan yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syara’ dalam muamalat seperti dalam jual beli, sewa-menyewa, kerja samanya pemilik sawah dengan penggarap dan sebagainya, adalah merupakan dasar hukum, sehingga seandainya terjadi perselisihan pendapat di antara mereka, maka penyelesaiannya harus dikembalikan pada adat kebiasaan atau uruf yang berlaku. Demikian pula dalam munakahat seperti tentang banyaknya mahar, atau nafakah, juga harus dikembalikan kepada adat kebiasaan yang berlaku.
Dalam hubungannya dengan kaidah ini para fuqoha’ mengatakan:
كل ما ورد به الشرع مطلقا ولا ضابط له في اللغة يرجع فيه الى العرف
Semua yang datang dari syara’ secara mutlak, maka ada ketentuaannya dalam agama dan tidak ada bahasa, maka dikembalikan kepada Urf
Dari berbagai kasus “Urf” yang dijumpai, para ulama ushul fiqih merumuskan kaidah-kaidah fiqih yang berkaitan dengan “Uruf”, diantaranya adalah yang paling mendasar:
1. العادة محكمة
“Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum”
2. لا ينكر الأحكام بتغير الأزمنة والأمكنة
“Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat”
3. المعروف عرفا كالمشروط شرطا
“Yang baik itu menjadi Urf, sebagaimana yang disyariatkan itu menjadi syarat”
4. الثابت بالعرف كالثابت بالنص
“Yang ditetapkan melalui Urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash (Ayat dan Hadist)"
Para ulama ushul fiqih juga sepakat bahwa hukum yang didasarkan kepada “urf” bisa berubah dengan perubahan masyarakat pada zaman tertentu dan tempat tertentu.
2. Uraian Kaidah
Dari kaidah kelima ini dapat di perinci, antara lain :
a. اِسْتِعْمَا لُ النَّا سِ حُجَّةٌ يَجِبُ ا لْعَمَلُ بِهَا
"apa yang biasa di perbuat orang banyak, merupakan hujjah yang wajib di amalkan"
Segala sesuatu yang biasa di kerjakan oleh masyarakat bisa menjadi patokan. Maka setiap anggota masyarakat dalam melakukan sesuatu yang telah terbiasakan itu selalu akan menyesuaikan dengan patokan tersebut atau tegasnya tidak menyalahinya.
b. يُنْكِرُ تَغَيَّرُ الاَ حْكَا مُ بِتَغَيَّرِ اْلاَ زْ مَا نِ
"tidak dapat diingkari adanya perubahan hukum akibat berubah masa"
Setiap perubahan masa, menghendaki kemashlahatan yang sesuai dengan keadaan masa itu. Hal ini mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan suatu hukum yang di dasarkan pada kemashlahatan. Jadi hukum bias berubah – ubah sesuai dengan perkembangan masa. Hanya saja kaidah ini tidak berlaku dalam lapangan ibadah.
c. ا لْكِتَا بُ كا لْخِطَا بِِ " tulisan itu sama dengan ucapan "
Suatu keterangan ataupun yang lainya yang diterangkan dalam bentuk tulisan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan ucapan lisan.
Masalah ini di bicarakan dalam hukum acara Islam sebagai "bukti tertulis" yang dahulu tidak dapat di terima karena belum banyak orang yang mengenal/mengetahui tulisan atau belum meyakinkan kebenaranya. Tetapi sekarang dengan dasar istihsan, bukti tertulis dapat di terima. Penggunaan kaidah ini lebih banyak menguntungkan bagi kelancaran hidup, karena masa sekarang telah kita kenal adanya ilmu tentang tipe tulisan dan hubungan dengan penulisnya, dalam rangka pembuktian autensitas tulisan tersebut. Qaidah ini banyak sekali di gunakan dalam dunia perdagangan seperti kwitansi, cek, dsb.
d. اَلتَّعْيِيْنَ بِا لْعُرْ فِ كَا لتَّعْيِيْنِ بِا لنَّصِّ
" menentukan dasar urf, seperti menentukan dengan berdasarkan nash "
Suatu penetapan hukum berdasarkan urf yang telah memenuhi syarat-syarat sebagai dasar hukum, sama kedudukannya dengan penetapan hukum yang didasarkan nash. Kaidah ini banyak berlaku pada urf-urf khusu, seperti utf yang berlaku diantara para pedagang dan berlaku didaerah tertentu, dll.
III. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa :
Kaidah pokok kelima : العاد ت محكمة "Adat kebiasaan dapat di tetapkan sebagai hukum" Suatu peristiwa dalam masyarakat, yang biasa di lakukan orang banyak dapat di jadikan sebagai sumber hukum selama tidak bertentangan dengan nash atau syari'at.
Uraian kaidah :
1. اِسْتِعْمَا لُ النَّا سِ حُجَّةٌ يَجِبُ ا لْعَمَلُ بِهَا " Apa yang biasa di perbuat orang banyak, merupakan hujjah yang wajib di amalkan"
2. لاَ يُنْكِرُ تَغَيَّرُ الاَ حْكَا مُ بِتَغَيَّرِ اْلاَ زْ مَا نِ " Tidak dapat diingkari adanya perubahan hukum akibat berubah masa"
3. ا لْكِتَا بُ كا لْخِطَا بِِ " Tulisan itu sama dengan ucapan "
4. اَلتَّعْيِيْنَ بِا لْعُرْ فِ كَا لتَّعْيِيْنِ بِا لنَّصِّ " Menentukan dasar urf, seperti menentukan dengan berdasarkan nash "



Referensi:
Ash-Shiddiqiy, Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Jakarta.
Nasrun, Haroen, (1997). Ushul Fiqhi I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Mujib, Abdul. (1998). Formulasi Nalar Fiqih. Bandung: CV. Pustaka Setia.