1.
Sejarah Filsafat Masa Yunani
Sejarah filsafat pada masa kuno dimulai dengan munculnya berbagai
pemikiran yang mendalam tentang realitas (alam) yang ada ini. Kesadaran ini
memang awalnya merupakan renungan semata dari orang-orang yang dianggap bijak.
Tetapi yang menarik bahwa renungan tersebut pada akhirnya terumus dalam
proposisi-proposisi yang sistematis dan logis. Dari sinilah sejarah filsafat
muncul. Dalam catatan sejarah yang ada, sejarah perkembangan filsafat yang ada
terutama berasal dari Barat, awal sejarah perkembangan filsafat dimulai dari
Milete, di Asia Kecil, sekitar tahun 600 SM.
Kata philosophos mula-mula dikemukakan oleh Heraklitos
(540-680 SM). Menurutnya, philosophos (ahli filsafat) harus mempunyai
pengetahuan yang luas sebagai pengejawantahan dari kecintaannya akan kebenaran
dan mulai benar-benar jelas digunakan pada masa kaum Sofis atau Socrates yang
memberi arti philosophein sebagai penguasaan secara sistematis terhadap
pengetahuan teoretis.
Mencintai kebenaran atau pengetahuan adalah awal proses manusia mau
menggunakan daya pikirnya, sehingga ia mampu membedakan mana yang riil dan mana
yang ilusi. Orang Yunani pada awalnya sangat percaya pada dongeng dan takhyul,
tetapi lama kelamaan mereka mampu keluar dar ikungkungan mitologi dan
mendapatkan dasar pengetahuan ilmiah. Inilah titik awal manusia menggunakan
rasio untuk meneliti dan sekaligus mempertanyakan dirinya dan alam jagad raya.
Filosof alam yang pertama mengkaji tentang asal usul alam adalah
Thales (624-546 SM). Ia digelari ‘Bapak Filsafat’ karena mula-mula ia yang
mempertanyakan ‘Apa sebenarnya asal-usul alam semesta ini?’. Pertanyaan ini
sangat mendasar, terlepas apapun jawabannya. Namun yang penting adalah pertanyaan
itu dijawabnya dengan pendekatan rasio dan bukan dengan pendekatan mitos. Ia
mengatakan asal alam adalah air karena air adalah unsur penting bagi setiap
makhluk hidup. Air dapat berubah menjadi gas, seperti uap, dan benda padat
seperti es, dan bumi ini juga berada di atas air.
Kemudian muncul Anaximandros (610-540 SM). Ia berpendapat bahwa
unsur alam ini tak hanya terdiri dari air saja tapi meliputi segalanya.
Termasuk harus ada yang melawannya yaitu api. Ia mencoba menjelaskan bahwa
substansi pertama itu bersifat kekal, tidak terbatas, dan meliputi segalanya.
Sedangkan Heraklitos (540-480 SM) memandang bahwa alam semesta
selalu dalam keadaan yang berubah; seperti panas yang berubah menjadi dingin
atau sebaliknya. Sehingga apabila kita ingin memahami kehidupan kosmos, kita
harus menyadari bahwa kosmos itu dinamis. Segala sesuatu yang saling
bertentangan itulah yang dinamakan kebenaran. Ungkapan Heraklitos yang terkenal
adalah; ‘Semuanya mengalir dan tak ada yang tinggal mantap.’ Itulah sebabnya ia
berpendapat bahwa unsur alam semesta ini adalah api. Api adalah unsur asasi
dalam alam.
Filosof alam yang sangat berpengaruh adalah Parmenides (515-440 SM)
yang pandangannya bertolak belakang dengan Heraklitos. Menurutnya, realitas
merupakan keseluruhan yang bersatu, tidak bergerak, dan tidak berubah. Yang ada
itu ada dan inilah satu-satunya kebenaran. Phytagoras (580-500 SM) mengembalikan
segala sesuatu kepada bilangan. Semua realitas dapat diukur dengan bilangan. Ia
berpendapat bahwa unsur utama alam adalah bilangan dan sekaligus menjadi
ukuran. Jasa Phytagoras ini sangat besar dalam pengembangan ilmu, terutama ilmu
pasti dan ilmu alam. Ilmu yang berkembang sampai sekarang tergantung pada
pendekatan matematika. Galileo menegaskan bahwa alam ditulis dalam bahasa
matematika. Matematika dapat menyederhanakan uraian yang panjang dalam bentuk
simbol dan matematika merupakan pendekatan ilmiah yang bisa dihitung dengan
akurat.
Setelah berakhirnya masa filosof alam, maka muncul masa transisi
yaitu penyelidikan fokusnya pada manusia. Kaum Sofis memulai kajian tentang
manusia dan menyatakan manusia adalah ukuran kebenaran. Pencetusnya adalah Phytagoras.
Ia menyatakan bahwa kebenaran itu bersifat subyektif dan relatif. Akibatnya,
tidak ada ukuran yang absolut. Bahkan teori matematika sekalipun tidak memiliki
kebenaran yang absolut.
Tokoh lain pada masa ini adalah Gorgias (483-375 SM). Pengaruh
positif adanya gerakan kaum Sofis pada masa ini adalah membangkitkan gairah
berfilsafat. Mereka mengingatkan filosof bahwa persoalan pokok dalam filsafat
bukanlah alam melainkan manusia.
Namun Socrates membantah dan mencoba menemukan kebenaran objektif
dengan menggunakan metode yang bersifat praktis melalui percakapan-percakapan.
Ia meyakini bahwa ajaran dan kehidupan adalah satu dan tak dapat dipisahkan.
Oleh karena itu, dasar dari penelitian dan pembahasan adalah pengujian diri
sendiri.
Periode setelah Socrates adalah zaman keemasan filsafat Yunani
karena kajian yang muncul adalah perpaduan antara filsafat alam dan manusia. Tokoh
yang menonjol adalah Plato (429-347 SM), menurutnya, esensi itu mempunyai
realitas dan realitasnya ada di alam idea.
Puncak kejayaan filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles
(384-322 SM). Ia berhasil menemukan pemecahan persoalan-persoalan dalam satu
sistem, logika Aristoteles didasarkan pada analisis bahasa yang disebut Silogisme.
Contoh:
-
Semua
manusia akan mati (premis mayor)
-
Socrates
seorang manusia (premis minor)
-
Socrates
akan mati (konklusi)
Filsafat Yunani
berakhir setelah Aristoteles menuangkan pikirannya. Akan tetapi sifat rasional
itu masih digunakan selama berabad-abad sesudahnya sampai filsafat benar-benar
tenggelam pada masa Abad Pertengahan.
2.
Sejarah Filsafat Masa Islam
Filsafat Islam merupakan filsafat yang seluruh cendekianya adalah
muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat
lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali
kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian
menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama Tauhid.
Maka, bila dalam filsafat lain masih ‘mencari Tuhan’, dalam filsafat Islam
justru Tuhan sudah ditemukan, dalam arti bukan berarti sudah usang dan tidak
dibahas lagi. Namun, filsuf Islam lebih memusatkan perhatiannya kepada manusia
dan alam, karena sebagaimana kita ketahui, pembahasan Tuhan hanya menjadi
sebuah pembahasan yang tak pernah ada finalnya.
a)
Penyampaian Ilmu dan Filsafat Yunani ke Dunia Islam
Pengalihan
pengetahuan ilmiah dan filsafat Yunani ke dunia Islam, dan penyerapan serta
pengintegrasian pengetahuan itu oleh umat Islam merupakan sebuah catatan
sejarah yang unik. Dalam sejarah peradaban manusia, amat jarang ditemukan suatu
kebudayaan asing yang dapat diterima oleh kebudayaan lain. Kemudian dijadikan
landasan bagi perkembangan inteletual dan pemahaman filosofinya. Dalam
perjalanan ilmu dan juga filsafat di dunia Islam, pada dasarnya terdapat upaya
rekonsiliasi yaitu mendekatkan dan mempertemukan dua pandangan yang berbeda,
bahkan seringkali ekstrim, antara pandangan filsafat Yunani, seperti Plato dan
Aristoteles dengan pandangan keagamaan dalam Islam yang seringkali menimbulkan
benturan-benturan. Diantaranya filosof Islam yang terlibat dalam upaya rekonsiliasi
adalah al-Farabi, al-Kindi, sampai Ibnu Rusyd. Usaha mereka pada gilirannya
menjadi alat penyebaran filsafat dan penetrasinya ke dalam studi-studi
keislaman lainnya, dan tak diragukan lagi upaya rekonsiliasi oleh para filosof
Muslim ini menghasilkan afinitas dan ikatan yang kuat antara filsafat Arab dan
Yunani.
Proses
penyampaian filsafat Yunani dalam Islam adalah melalui proses penerjemahan.
Proses penerjemahan dan penafsiran buku-buku Yunani di negeri-negeri Arab
dimulai pada tahun 641 M. Jauh sebelum umat Islam dapat menaklukkan
daerah-daerah di Timur Dekat karena pada saat itu Suriah menjadi tempat
bertemunya dua kekuasaan dunia, Romawi dan Persia. Bangsa Suria memainkan peran
penting dalam penyebaran kebudayaan Yunani ke Timur dan Barat.
Pada
masa ini didapati pusat-pusat ilmu pengetahuan seperti Ariokh, Ephesus, dan
Iskandariah, dimana buku Yunani Purba masih dibaca dan diterjemahkan ke ke
dalam berbagai bahasa, terutama Siriani, bahkan setelah pusat-pusat itu
ditaklukkan oleh umat Islam, pengaruh pemikiran Yunani tetap mendalam dan
meluas.
b)
Perkembangan Ilmu pada Masa Islam Klasik
Satu
hal yang patut dicatat kaitannya dengan perkembangan ilmu dalam Islam
selanjutnya adalah peristiwa Fitnah al-Kubra, yang tidak hanya membawa
konsekuensi logis dari segi politis, tetapi juga membawa perubahan besar bagi
pertumbuhan dan perkembangan ilmu di dunia Islam. Pasca terjadinya Fitnah
al-Kubra, muncul berbagai golongan yang memiliki aliran teologis tersendiri
yang pada dasarnya berkembang karena alasan-alasan politis. Seperti munculnya
aliran Syi’ah, Khawarij, Sunni, Jabariyah, Qadariyah, dan lain sebagainya.
Tahap
penting berikutnya dalam proses perkembangan dan tradisi keilmuan Islam adalah
masuknya unsur-unsur dari luar ke dalam Islam, khususnya unsur budaya
Perso-Semitik (Zoroastrianisme-khususnya Mazdaisme, serta Yahudi dan Kristen)
dan budaya Hellenisme. Yang disebut mempunyai pengaruh besar terhadap pemikiran
Islam. Di satu sisi ia mendukung Jabariyah (pendirinya Jahm ibn Shafwan) dan di
sisi lain ia mendukung Qadariyah (antara lain Washil ibn Atha’, pendiri
Mu’tazilah). Dari adanya pandangan dikotomis tersebut kemudian muncul usaha
menengahi dengan menggunakan argumen-argumen Hellenisme, terutama filsafat
Aristoteles. Sikap menengahi itu dilakukan oleh Abul Hasan al-Asy’ari dan
al-Maturidi yang juga menggunakan unsur Hellenisme.
Dapat
ditarik sebuah hipotesa sementara bahwa pada awal Islam pengaruh Hellenisme dan
juga filsafat Yunani terhadap tradisi keilmuan Islam sudah sedemikian kental. Sehingga
pada saat selanjutnya pengaruh itu pun terus mewarnai perkembangan ilmu pada
masa-masa berikutnya.
c)
Perkembangan Ilmu pada Masa Kejayaan Islam
Pada
masa kejayaan kekuasaan Islam, terutama pada masa Dinasti Umayyah dan Dinasti
Abbasiyah, ilmu berkembang pesat dan sangat maju. Kemajuan ini membawa Islam
pada masa keemasannya, dimana pada saat yang sama daerah-daerah yang berada di
sekitar wilayah kekuasaan masih berada pada masa kegelapan peradaban (Dark
Age).
Al-Mansur,
al-Ma’mun, dan Harun al-Rasyid merupakan nama-nama dari khalifah Abbasiyah yang
memiliki peranan penting dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahun pada
masanya. Pada masa pemerintahan al-Ma’mun, proses penerjemahan karya-karya
filosof Yunani ke dalam bahasa Arab berkembang dengan pesat. Pada masa Harun
al-Rasyid, penerjemahan terus berlangsung. Harun memerintah Yahya bin Musawaih,
seorang dokter istana, untuk menerjemahkan buku-buku tentang kedokteran.
Kemudian berkembang pula ilmu astronomi seperti buku risalah India berjudul
Siddhanta yang diterjemahkan oleh Muhammad Ibn Ibrahim al-Fazari dan buku
terjemahan tersebut selanjutnya dikembangkan oleh al-Khawarizmi.
Berlanjut
ke masa pemerintahan al-Ma’mun, beliau berhasil membangun sebuah perpustakaan
sebagai pusat pengembangan riset ilmu pengetahuan, observatorium, perpustakaan,
dan pusat penerjemahan yang terkenal dengan nama Bait al-Hikmah. Salah
satu seorang transliter terkenal pada masa ini adalah Hunain yang berjasa
menerjemahkan buku-buku Plato, Aristoteles, Galenus, Appolonuis, dan
Archimedes. Kemudian lahir tokoh ahli filsafat yang bergelut secara serius
dalam kajian diluar filsafat. Seperti Ibnu Sina yang mengembangkan corak pemikiran
filsafatnya dalam ilmu matematika, psikologi, zoologi, geologi, botani,
geometri, astronomi, dan sebagainya. Disusul kemudian keberhasilan tokoh-tokoh
lain seperti al-Kindi, ar-Razi, dan lain-lain.
Pada
masa ini, sejarah juga mencatat perkmbangan ilmu tafsir dan ilmu hadits.
Perkembangan ilmu hadits dimulai sejak Imam Syafi’i menyusun kitabnya (abad
ke-3 Hijriyah). Selain itu ilmu fiqh dan ushul fiqh juga mengalami perkembangan
hingga sampai sekarang ini.
d)
Masa Keruntuhan Tradisi Keilmuan dalam Islam
Abad
ke-18 dalam sejarah Islam adalah abad yang paling menyedihkan bagi umat Islam
dan memperoleh catatan buruk bagi peradaban Islam secara universal. Seperti
yang diungkapkan oleh Lothrop Stoddard, bahwa menjelang abad ke-18, dunia Islam
telah merosot ke tingkat yang terendah. Islam tampaknya sudah mati dan yang
tertinggal hanyalah cangkangnya yang kering kerontang berupa ritual tanpa jiwa
dan takhayul yang merendahkan martabat umatnya. Ia menyatakan, bahwa seandainya
Nabi Muhammad hidup kembali pasti beliau akan mengutuk umatnya sebagai kaum
yang murtad dan musyrik.
Pernyataan
Stoddard ini menggambarkan betapa dahsyatnya proses kejatuhan peradaban dan
tradisi keilmuan Islam sebagai bangsa yang dijajah oleh Bangsa Barat.
3.
Sejarah Filsafat Masa Barat (Pertengahan)
Filsafat Masa Barat (Filsafat Kristen) mulanya disusun oleh bapa
gereja untuk menghadapi tantangan jaman di Abad Pertengahan. Saat itu dunia
barat yang Kristen tengah berada dalam jaman kegelapan (Dark Age).
Masyarakat mulai mempertanyakan kembali kepercayaan agamanya. Tak heran,
filsafat Kristen banyak berkutat pada masalah ontologis dan filsafat ketuhanan.
Hampir semua filsuf Kristen adalah teologian dan ahli masalah agama.
Corak filsafatnya bersifat Apologetis dan beruapaya memadukan
anatar agama dan filsafat, dengan cara (1) membuang ajaran agama yang tidak
rasional dan memolesnya dengan rasio, (2) memberikan warna pemikiran filsafat
Yunani dengan keyakinan Kristen. Masa filsafat kristen terbagi menjadi dua,
yaitu; Masa Patristik merupakan ranah filosof teolog (pendeta bapa),
yaitu sekelompok filosof kristen yang pola pemikirannya didominasi oleh
keyakinan terhadap ajaran kristen secara rasional. Patrisme terbagi menjadi
dua, yaitu; Patrisme Timur (Alexandria) dan Patrisme Barat (Roma).
Filosof Patrisme Timur
Klemens (150-215 M),
melakukan upaya pemaduan agama dan filsafat dengan menyatakan bahwa (1)
untuk non-kristen, keberadaan filsafat mengantarkan seseorang pada pemahaman
injil. Karenanya filsafat dimaknai sama dengan hukum Taurat Yahudi, (2) untuk
kristen, keberadaan filsafat menjadi instrumen pengenal Tuhan, karenanya
filsafat merupakan sumber pengetahuan dan Tuhan adalah sumber segala sesuatu.
Konsep iman (pistis) merupakan sesuatu yang penting bagi seorang
kristiani, namun perlu didukung oleh gnosis (pengetahuan) yang memiliki
pendekatan pengetahuan yang berbeda. Pistis bersumber pada wahyu sedangkan
gnosis bersumber pada akal.
Filosof Patrisme Barat
Tertalianus (160-222 M),
berusaha menjauhkan antara agama, filsafat, sekaligus menolak kebenaran
filsafat. Baginya, kebenaran wahyu telah mencukupi bagi orang kristiani
sehingga tidak memerlukan lagi kebenaran filsafat. Ia tidak menolak metode
rasionalistik sejauh tidak melemahkan keyakinan agama. Tuhan bersifat antropomorfis,
memberi rupa Tuhan sebagaimana makhluk secara fisik dengan menyatakan ‘baik
Allah maupun jiwa mempunyai tubuh, yaitu berbentuk halus seperti uap yang
tembus pandang.’ Aurelius Agustinus (354-430 M), menyatakan bahwa agama
dan filsafat memiliki hubungan yang sangat erat. Meski ajaran agama dan
filsafat tidak bertentangan, namun kebenaran agamalah yang paling tinggi,
sehingga fungsi filsafat hanyalah untuk mengokohkan keyakinan keagamaan.
Menolak aliran Skeptisisme karena dianggap sebagai orang yang mengalami
pertentangan batin.
Berikutnya Masa Skolastik merupakan gerakan filsafat dan keagamaan yang mengadakan sintesa antara
akal, budi, dengan keimanan. Menggunakan metode Dispotatia, yaitu membandingkan antara yang pro dan kontra. Tokohnya yaitu Anselmus (1033-1109 M) yang menyatakan bahwa iman
dan pengetahuan harus selalu dipadukan, sehingga mampu menjembatani antara
pengetahuan yang berdasarkan akal budi dengan pengetahuan atas dasar wahyu.
Kedudukan wahyu menduduki posisi utama kemudian logos (pengetahuan). Peranan
akal atau filsafat adalah untuk pendalaman pengetahuan tentang Tuhan dan segala
objek pikiran. Albertus Agung (1206-1280 M), menyatakan bahwa teologi dan filsafat harus dibedakan
sesuai dengan bidangnya masing-masing. Kebenaran teologi (iman) hanya
berdasarkan perasaan tanpa akal, sedangkan filsafat berdasarkan akal semata.
Namun demikian, keduanya memiliki titik singgung, yaitu sama-sama merumuskan
dan membicarakan kebenaran. Thomas Aquinas (1225-1274 M), menyatakan bahwa pengetahuan itu ada dua, (1) pengetahuan
insani yang diperoleh melalui akal manusia dengan pemikiran filsafat dalam
hal-hal yang sifatnya alami, (2) pengetahuan teologis, yang diperoleh
melalui informasi wahyu yang menjangkau hal-hal yang berada diluar alam bendawi
atau sesuatu yang tidak terjangkau akal manusia. Argumentasi tentang keberadaan
Tuhan (1) di alam empiris terdapat hal-hal yang mungkin ada, (2) di dalam kehidupan
selalu ada tingkatan tentang yang baik dan yang buruk, (3) diantara makhluk
Tuhan terdapat ciptaan yang tidak berakal, tapi memiliki kekuatan sehingga
dapat beradaptasi dengan kehidupannya, (4) adanya sebab di dunia ini
menyebabkan adanya akibat, dan (5) adanya gerak mengharuskan adanya yang
menggerakkan.
Sebab kemunduran filsafat Kristen,
1) Dominasi agama kristen yang tidak
memberikan ruang gerak bagi kegiatan filsafat,
2) Pengembangan ilmu pengetahuan mengalami
tekanan yang luar biasa dari pihak gereja dan kerajaan,
3) Pengebirian dan tekanan terhadap para
filosof dan ilmuwan dalam bentuk penyiksaan dan pembunuhan, dan
4) Pelarangan segala bentuk aktifitas
kefilsafatan dan keilmiahan oleh gereja dan kerajaan karena dianggap
mendiskriditkan nama gereja dan raja.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar,
Amtsal, Prof. Dr. M.A.. 2012. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Tim Penyusun
MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya. 2011. Pengantar Filsafat. Surabaya:
IAIN SA Press.
Arif, Moch.
Choirul. 2011. Pengantar Filsafat Ilmu untuk Fakultas Dakwah. Surabaya:
IAIN SA Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar