NAIK MERCY URO-URO. Benarkah sejarah Jawa itu
sejarah orang-orang yang kalah?Dan benarkah
bahwa karena itu filsafat Jawa juga cerminsikap
hidup orang yang kalah? Bahwa filsafat Jawa
mengagungkan ide dan merendahkan
materi,memang tampak jelas. Dalam berbagai hal
pandangan hidup Jawabahkan bersifat anti-materi.
Orang Jawa lebih cenderungmencanggih-
canggihkan tata krama dan kehalusan.
Kepriayiandan kebudayaan adiluhung menjadi
semacam kebanggaan, mungkintujuan. Maka,
orang Jawa menyebut sesama Jawa yang bersikap
kasardengan ora njawani (tidak bersikap Jawa) atau
bahkan durungJowo (belum menjadi Jawa) karena
cuma yang halus danluhurlah yang diakui sebagai
wis Jowo (sudah Jawa).Diam-diam, orang Jawa
yang pandai membungkuk itu suka merasapaling
unggul. Adanya dikotomi tanah Jawa-tanah
sabrang (seberang) dalamhidup orang Jawa juga
berangkat dari rasa unggul (secarakultural)
semacam itu. Tapi orang "seberang" bahkan
orangbule sekalipun, kalau ia halus, oleh orang
Jawa disebutsebagai "Jawa". Seolah-olah hanya
orang Jawa yang punyakehalusan. Seorang teman
saya bahkan tidak malu-malumenyebut bule yang
sarungan saja sebagai bule yang njawani. Cultural
determinism, dalam antropologi, dulu
dianggapproduk Eropa dan gambaran keangkuhan
bule Eropa. Orang lupabahwa determinisme
kultural ada juga di Jawa. Tapi, benarkahbahwa
rasa unggul pada orang Jawa itu pada
dasarnyamerupakan ungkapan kegetiran mereka
akibat kekalahanterus-menerus secara politik,
ekonomi, dan militer dalammenghadapi agresi
Barat? Benarkah orang Jawa
menggunakankebudayaan sebagai selubung yang
menyembunyikan muka darirasa malu menjadi
pihak yang kalah melulu? Dalam hidup sehari-hari
terasa bahwa orang yang mengejarmateri
dianggap ngoyo uripe (memaksa diri dalam hidup)
,sesuatu yang bukan Jawa. Hidup Jawa ialah
tenteram danharmoni dalam konotasi batin, karena
di sana tersirat bahwamateri tak bisa membawa
ketenteraman. Tak mengherankan bilaorang lebih
memilih ora mangan waton ngumpul (tidak
makanasal kumpul). Ungkapan numpak Mercy
mbrebes mili, mikul dhawet uro-uro(orang kaya
naik Mercy berurai air mata, tukang cendolnyanyi
bahagia) merupakan simbol pemujaan ide dan
penolakanmateri tadi. Dalam dunia Islam,
gambaran orang tentang sufi selalumerujuk pada
kesederhanaan dan penolakan terhadap dunia.
MaxWeber bahkan menganggap agama-agama
Timur, termasuk Islam,tidak memiliki "asketisme
duniawi" seperti Protestan yangmelahirkan
kapitalisme modern itu, karena asketismeagama-
agama Timur bersifat mistis, "lari" dari dunia
danmengejar hidup akhirat semata Ironisnya,
seperti pernah ditulis Goenawan Mohamad,
merekayang "emoh" dunia ini ternyata selalu hidup
dari dana yangdihimpun untuk mereka. Dus, hidup
dari sumbangan umat. Di berbagai daerah ada kiai
yang dikenal sebagai sufi tetapihidup keduniaannya
mentereng. Rumahnya mewah, pakaiannyanecis,
mobilnya bukan Kijang, melainkan Mercy:
gambaran sufiyang tidak lazim, yang melawan
"stigma" yang sah itu. Seorang teman dari LIPI,
Bisri Effendy, pernah berceritatentang kiai di Jawa
Timur yang marah pada santri-santrinya.Suatu
hari, para santri hendak ke pasar. Mereka
sarungan,memakai teklek, berkaus ala kadarnya,
dan berpeci butut. Dipintu gerbang pesantren
mereka bertemu sang kiai, yangsegera
mendamprat mereka dari dalam Mercy yang licin
mulusitu. "Kamu kira kalau sudah menggembel
begitu mesti masuk surga?Hidupmu itu belum
tentu, tahu? Kalau mau hebat, hidup
yangmentereng di dunia dan mati masuk surga.
Jangan kamu balikduniamu sudah pating slawir
(kocar-kacir), status akhiratmumasih ngambang."
Pikiran romo kiai ini jelas subversif;
menjungkirbalikkanpandangan Jawa tadi. Ia tidak
mau "naik Mercy mbrebes mili".Edan, po?, ia pun
menolak mikul dhawet, meskipun uro-uro.Mana
ada kiai mikul dhawet? Ia memilih yang terbaik,
yangmusykil dalam pandangan Jawa: yakni
numpak (naik) Mercy tur(dan, lagi pula) uro-uro.
Sikapnya memilih hidup mulia di dunia dan mati
berharapmasuk surga, tidak berangkat dari
"hedonisme" kawula mudayang bicara tentang
"mumpung muda foya-foya, tua harus kayaraya,
dan mati masuk surga". Pilihan sikap hidup Pak
Kiaiini serius. Ia bertolak dari dasar-dasar ajaran
mulia. Sufi yang mewah ini, dengan kata lain, tidak
terkena"najis". Kesufiannya tidak "batal".
Kementerengannya denganharta dunia dan Mercy
itu, sepanjang tak membuat dia lupapada yang
paling esensial, Tuhan, tak mengapa. Duit,
rumahmewah, dan Mercy semuanya dipahami
hanya sebagai alat. Danbukankah sufi dihalalkan
juga menggunakan alat semacam itu? Sufi seperti
ini kalibernya menyumbang, bukan hidup
darisumbangan. Ia mereguk kemewahan dunia
tapi tak terpenjaraolehnya. Ia hidup dengan
asketisme duniawi, bukan asketismemistis, yang
lari dari dunia itu, ia tidak mempertentangkanide
dan materi. Sebaliknya, keduanya didamaikan,
dibuat "manunggal" sebagaisarana menuju takwa
dan penyerahan diri yang lebih komplet,lebih total.
Baginya, perjalanan menuju Tuhan
memerlukanjuga duit agar lebih khusyuk.
Umumnya, orang dekat pada Tuhan ketika dalam
kesulitan.Dalam keadaan senang, Tuhan sering
ditinggalkan. Kiai kitaini lain. Maka, barangkali, di sini
jawaban mengapapandangan hidup Jawa
mengutamakan ide dan menolak materiditemukan:
orang Jawa memilih mikul dhawet uro-uro dan
takutnumpak Mercy mbrebes mili karena naik
Mercy memang lebihbesar godaannya. Jadi, hanya
kiai besar dengan "kantong"iman yang tebal yang
bisa naik Mercy sambil uro-uro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar