PENDAHULUAN
Hak Asasi Manusia dalam tinjauan Islam.
Pada dasarnya, semua Rasul dan Nabi Allah adalah pejuang- pejuang penegak hak
asasi manusia yang paling gigih. Mereka tidak hanya sekedar membawa serangkaian
pernyataan akan hak-hak asasi manusia sebagaimana termuat dalam Kitab-kitab
Suci, seperti Zabur, Taurat, Injil, dan al-Qur’an, akan tetapi sekaligus
memperjuangkannya dengan penuh kesungguhan dan pengorbanan. Dalam hubungan
dengan HAM, dari ajaran pokok tentang hablum min Alllah dan hablum min na-nas,
muncul dua konsep hak, yakni hak manusia (haq al -insan) dan hak Allah. Setiap
hak saling melandasi satu sama lain. Hak Allah melandasi hak manusia dan juga
sebaliknya. Konsep Islam mengenai kehidupan manusia ini didasarkan pada
pendekatan teosentris atau yang menempatkan Allah melalui ketentuan syari
at-Nya sebagai tolok ukur tentang baik buruk tatanan kehidupan manusia baik
sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat atau warga negara.
Islam
mengajarkan tiga bentuk hak asasi manusia, yaitu:
1. Hak darury (hak dasar). Sesuatu dianggap hak dasar apabila hak tersebut
dilanggar, bukan hanya mernbuat manusia sengsara, tetapi juga hilang
eksistensinya, bahkan hilang harkat kemanusiaannya, misalnya mati.
2. Hak hajy (hak sekunder), yakni hak-hak yang bila tidak dipenuhi akan
berakibat pada hilangnya hak-hak elementer, misalnya hak seseorang untuk
memperoleh sandang pangan yang layak, maka akan rnengakibatkan hilangnya hak
hidup.
3.
Hak tahsiny, yakni hak yang tingkatannya
lebih rendah dari hak primer dan sekunder.
Jadi Hak-Hak
antar umat manusia telah ditetapkan dan dijelaskan sejak dahulu kala dan telah
dibukukan berupa Al-Quran dan segala perilaku, kalam, dan sifat sifat Nabinya.
Dari sini sudah terlihat dengan jelas bahwasanya Agama Islam adalah Negara yang
menghargai hak hak setiap orang bahkan makhluk hidup yang lain dan sangat
menolak bagi siapa saja yang merenggut hak makhluk lain[1]
PEMBAHASAN
1.1.
Tanggapan dunia Islam tentang Universal
Declaration of Human Right
Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights 1948) | Tanggal
10 Desember 2008 ini diperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Pengertian HAM yang dimaksudkan di sini adalah HAM dalam
arti universal atau HAM yang dianggap berlaku bagi semua bangsa. Dimulai dari
pengertian dasar, yaitu hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan atau disebut
juga sebagai hak-hak dasar yang bersifat kodrati.
Definisi HAM sekalipun sudah memiliki rumusan yang kongkret, akan tetapi
masih membawar persoalan yang sesungguhnya dapat melanggar butir-butir pokok di
dalam definisi HAM itu sendiri. PBB melalui organisasi-organisasi independen
seringkali masih memaksakan definisi HAM berlaku bagi semua bangsa. Sementara
itu, setiap bangsa terbentuk dan dibentuk dari situasi dan sejarah masa lalu
yang berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya. Jika saja pemaksaan kehendak
dianggap melanggar HAM, maka pelaksanaan konsep HAM itu sendiri tidak boleh
dipaksakan begitu saja.
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan suatu permasalahan yang telah menjadi
sebuah topik hangat di dunia pada saat ini. Hal ini timbul dikarenakan masalah
HAM menyangkut kehidupan manusia, baik sebagai makhluk Tuhan maupun makhluk
sosial. Meskipun agak sulit melacak dari mana dan sejak kapan HAM muncul dalam
pembicaraan, namun dari beberapa rekaman sejarah kita mengetahui bahwa sejak
beberapa abad sebelum masehi, orang sudah mulai membicarakan masalah HAM.
Di mulai dari zaman Yunani kuno, penghormatan yang sama terhadap sesama
warga kota, kebebasan yang sama berbicara dan bertemu di depan umum, dan
persamaan di depan hukum adalah norma-norma umum untuk warga negara (Polis)
Athena Klasik. Perkembangan HAM kemudian dalam dunia kontemporer dimulai dari
Magna Charta (1215) dan berpuncak pada keberhasilan PBB mengeluarkan Universal
Declaration of Human Rights (UDHR,1948). Pembentukan UDHR sendiri dalam
sejarahnya tidak terlepas dari perdebatan-perdebatan antar negara yang berbeda
kepentingan. Prinsip universalisme HAM pun ditentang dengan prinsip relativisme
budaya.
Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of
Human Rights/UDHR) adalah sebuah pernyataan yang bersifat anjuran yang diadopsi
oleh Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (A/RES/217, 10 Desember 1948 di
Palais de Chaillot,Paris). Pernyataan ini terdiri atas 30 pasal yang
menggarisbesarkan pandangan Majelis Umum PBB tentang jaminan hak-hak asasi
manusia (HAM) kepada semua orang. Eleanor Roosevelt, ketua wanita pertama
Komisi HAM (Commission on Human Rights/CHR) yang menyusun deklarasi ini,
mengatakan, “Ini bukanlah sebuah perjanjian di masa depan, ini mungkin akan
menjadi Magna Carta internasional.
Menurut
Ensiklopedi Hukum Islam, ide hak-hak asasi manusia timbul pada abad ke-17 dan
ke-18, sebagai reaksi terhadap keabsolutan raja-raja dan kaum feodal di zaman
itu terhadap rakyat yang mereka perintah atau manusia yang mereka
pekerjakan—sebagai lapisan bawah. Lapisan bawah itu tidak mempunyai hak-hak.
Mereka diperlakukan dengan sewenang-wenang, sebagai budak yang dimiliki.
Sebagai reaksi terhadap keadaan yang pincang ini, timbullah gagasan supaya
lapisan bawah itu—karena mereka adalah manusia juga—diangkat derajatnya dari
kedudukan budak menjadi sama dengan lapisan atas. Muncullah ide untuk
menegakkan hak-hak asasi manusia (HAM).[2]
Karakteristik
pokok HAM adalah, setiap orang menikmati hak-hak dasar tertentu berdasarkan
kenyataan bahwa ia adalah manusia, tanpa diskriminasi atas dasar ras, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, atau lainnya.
Sebagaimana
dijelaskan dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, konsep HAM modern jelas
merupakan kreasi Barat. Ia lahir dari rahim modernitas Barat, ketika teori
sekuler modern tentang hukum alam diterima para filsuf Zaman Pencerahan. Oleh
mereka, teori hukum alam itu diperluas cakupannya, dan muncullah kesepakatan
luas tentang prinsip mengenai hak-hak alamiah manusia. Didorong, antara lain,
oleh Revolusi Perancis (1789-1799), Revolusi Amerika, dan berakhirnya Perang
Dunia II (1939-1945) dengan kekalahan fasisme Jerman, Italia, dan Jepang,
prinsip itu ditetapkan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1945.
Prinsip inilah yang kemudian dielaborasi secara lebih sistematis dalam the
Universal Declaration of Human Rights (UDHR [Deklarasi Universal tentang HAM]).
Lebih lanjut,
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam menjelaskan tiga macam tanggapan negara-negara
Muslim terhadap UDHR:
1. Penolakan
Total
Penolakan total
terhadap UDHR oleh sejumlah kaum Muslim dan negara Muslim disebabkan oleh
keyakinan mereka bahwa syariat bersifat sakral dan independen. Karena
hakikatnya yang demikian, maka syariat itu harus diterapkan sebagai sistem
nilai dan hukum dalam kehidupan manusia dewasa ini. Dari sudut ini, UDHR
dipandang sebagai sesuatu yang tidak cocok dan bertentangan dengan Islam.
Identifikasi
Barat dengan agama Kristen juga menyebabkan diidentifikasikannya UDHR dengan
agama Kristen. Penolakan ini juga didukung oleh argumen standar bahwa sejarah
Barat sendiri banyak dinodai oleh praktek-praktek yang menodai HAM. Oleh karena
itu, Islam haruslah mengembangkan versi HAM-nya sendiri. Selain Arab Saudi,
Republik Islam Iran adalah contoh yang jelas dari penolakan atas rumusan UDHR
dewasa ini.
2. Penerimaan
Tidak Penuh
Pandangan bahwa
syariat bersifat kekal, universal, dan harus dijadikan landasan hidup manusia
tidak serta-merta menjadikan kaum Muslim menolak UDHR. Meskipun demikian,
penerimaan mereka atas deklarasi itu tidaklah bersifat penuh, melainkan dengan
prasyarat tertentu. Karena UDHR dipandang cacat akibat landasan pandangan
dunianya yang sekuler, maka tanggapan ini melahirkan rumusan HAM versi Islam.
Formulasi
paling terkenal dari HAM versi Islam ini adalah al-Bayan al-‘Alam ‘an Huquq
al-Insan fi al-Islam (Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia dalam
Islam). Deklarasi yang diumumkan pada September 1981 di Paris ini dipersiapkan
oleh beberapa pemuka Muslim dari Mesir, Pakistan, dan Arab Saudi di bawah
pengawasan Islamic Council of Europe (Dewan Islam Eropa), sebuah organisai
swasta bermarkas di London dan berafiliasi pada Liga Dunia Islam.
Ada beberapa
karakteristik pokok dari rumusan HAM versi ini. Pertama, klaimnya bahwa Islam
mempunyai konsep HAM yang asli, yang sudah dirumuskan bahkan sejak abad ke-7.
Kedua, seluruh kandungan deklarasi versi Islam itu dirumuskan berdasarkan
al-Qur’an dan Sunah. Ketiga, apa yang dimiliki manusia bukanlah hak-hak yang
sudah dibawanya sejak lahir, melainkan preskripsi yang dititahkan kepada
manusia, yang didapat atau diturunkan dari sumber-sumber yang ditafsirkan
sebagai titah Ilahi yang meliputi kewajiban dan hak. Dan keempat, syariat
menjadi kriteria kebenaran final, dan satu-satunya untuk menilai semua tindakan
manusia.[3]
Posisi yang
sama juga ditemukan dalam naskah final Deklarasi Cairo, Wathiqah Huquq al-Insan
fi al-Islam (Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dalam Islam). Deklarasi ini diumumkan
pada 1990, sesudah dilakukan perundingan selama 13 tahun antarnegara yang
tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI).
3. Penerimaan
Penuh
Selain kedua
tanggapan itu, banyak pula pihak di dunia Islam yang merasa bahwa UDHR sama
sekali tidak mengandung persoalan dilihat dari sudut pandang Islam. Ketika draf
UDHR diperdebatkan pertama kali, Pakistan adalah negara Muslim pertama yang
paling responsif menyatakan dukungan terhadap hak-hak yang disebutkan di
dalamnya. Dan Tunisia adalah contoh paling belakangan dari negara Muslim yang
mengambil sikap ini.[4]
1.2.
Kebebasan Beragama presperktif Human Right
Hak dan kebebasan beragama serta
berkeyakinan merupakan salah satu hak asasi manusia yang bersifat mutlak
sebagai wujud dari hak asasi manusia yang paling inti. Karena itu sering
dikatakan bahwa, hak dan kebebasan beragama merupakan hak asasi yang bersifat
non-derogable rights yaitu hak asasi manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun.
Dalam konstitusi negara republik Indonesia,
hak-hak yang termasuk dalam non-derogable rights ini diatur dalam Pasal 28I
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang meliputi:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,
hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun.”
Pada penjelasan Pasal 4 UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) telah menjelaskan lebih lanjut
mengenai yang dimaksud dengan “dalam keadaan apapun” termasuk keadaan perang,
sengketa bersenjata, dan atau keadaan darurat. Sedangkan, derogable rights
adalah hak-hak yang masih dapat dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh
negara dalam keadaan tertentu.
Pertanyaannya, dalam aspek apakah hak dan
kebebasan beragama bersifat non-derogable rights? Apakah sifat non-derogable
rights berlaku secara mutlak dalam semua aspek? Dua pertanyaan ini perlu diajukan
mengingat saat ini ada kesan bahwa dalam perspektif kesepakatan HAM
internasional, seolah-olah negara sama sekali tidak boleh ikut campur untuk
mengatur hak kebesan beragama, termasuk memberikan batasannya, sehingga ketika
negara melakukan pengaturan terkait dengan aliran sesat menggunakan UU
No.1/PNPS/1965 selalu menjadi sasaran kritik.
Sesungguhnya dalam kesepakatan
internasional, tidak semua aspek hak dan kebebasan beragama serta berkeyakinan
berada dalam wilayah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun
(non-derogable rights). Dalam International Covenant on Civil and Political
Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang telah
diratifikasi dengan UU No. 12 Tahun 2005, Pasal 18 Ayat (3) dinyatakan sebagai
berikut:
Kebebasan untuk menjalankan agama atau
kepercayaannya seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang
diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral
masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain.
Maka jelaslah bahwa kesepakatan
internasional mengakui keberadaan pembatasan yang dilakukan oleh negara
terhadap hak dan kebebasan beragama. Dalam pelaksanaan tanggung jawabnya,
negara diperbolehkan untuk membatasi hak yang ditetapkan melalui undang-undang
dengan dasar beberapa klausul pembatasan.
Lebih jauh lagi dalam Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang diadopsi PBB
pada tahun 1948, misalnya terdapat ketentuan tentang pembatasan HAM. Pasal 29
Ayat (2), dinyatakan sebagai berikut:
In the exercise of his rights and freedoms,
everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law
solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights
and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public
order and the general welfare in a democratic society.[5]
(dalam melaksanakan hak-hak dan
kebebasannya, setiap orang hanya patuh kepada pembatasan yang diatur melalui
undang-undang, semata-mata untuk tujuan menjamin pengakuan dan penghormatan
terhadap hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan moralitas
yang adil, ketertiban umum, dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat
demokratis).
Kemudian dalam Deklarasi PBB tentang
Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan
(Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of
Discrimination Based on Religion and Belief) Tahun 1981, pada Pasal 1 Ayat (3)
juga dinyatakan sebagai berikut:
Freedom to manifest one’s religion or
beliefs may be subject only to such limitations as are prescribed by law and
are necessary to protect public safety, order, health, or morals, or the
fundamental rights and freedoms of others. (Kemerdekaan seseorang untuk menyatakan
agamanya atau kepercayaannya hanya dapat dibatasi oleh UU dan dalam rangka
menjamin keselamatan umum, ketentraman umum, kesehatan umum, atau nilai-nilai
moral atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain)
Demikian juga dalam Konvensi tentang
Hak-Hak Anak yang diadopsi oleh Sidang Umum PBB yang ditandatangani pada
tanggal 20 November 1989 (Convention on the Rights of the Child), dalam Pasal
14 ayat (3) dinyatakan sebagai berikut:
Freedom to manifest one’s religion or
beliefs may be subject only to such limitations as are prescribed by law and
are necessary to protect public safety, order, health, or morals, or the
fundamental rights and freedoms of others. (Kebebasan seseorang untuk menyatakan
agamanya atau kepercayaannya hanya dapat dibatasi oleh UU dan dalam rangka
untuk melindungi keselamatan, ketentraman, kesehatan, dan nilai-nilai moral
publik, atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain).
Poin-poin di atas-lah yang kemudian
diadopsi ke dalam pasal 28 J Ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen yang menyatakan
sebagai berikut:
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Juga dimasukkan ke dalam pasal 73 UU No. 39
tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan sebagai berikut:
Hak dan kebebasan yang diatur dalam
Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang,
semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan
kepentingan bangsa.
Dengan demikian jelaslah bahwa, pembatasan
HAM termasuk pembatasan terhadap hak dan kebebasan beragama adalah sesuatu yang
legal dan konstitusional dalam tertib hukum nasional dan tidak bertentangan
dengan kesepakatan-kesepakatan internasional.
Pertanyaan selanjutnya yang perlu diajukan
adalah dalam aspek apakah hak dan kebebasan beragama tidak dapat dibatasi atau
bersifat non-derogable rights?. Maka yang perlu dicermati adalah aspek-aspek
yang terkait dengan pemenuhan hak dan kebebasasan untuk beragama. Dalam hal ini
terdapat dua aspek yang mempunyai wilayah yang berbeda yang secara implisit
dijelaskan dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pasal
28 ayat (1) – ayat (3). Yang pertama adalah forum internum yang merupakan inner
freedom atau kebebasan yang bersifat sangat pribadi. Forum internum adalah
sebuah wilayah tempat beradanya pengakuan batin personal seorang individu yang
merupakan tempat beradanya keyakinan spiritual individual dan secara persis
hanya diketahui oleh si empunya keyakinan sendiri. Orang lain tidak mungkin
untuk memastikannya. Oleh karena itu, wilayah ini sebenarnya tidak dapat
dan tidak mungkin diintervensi oleh
individu lain atau entitas lain yang berada di luar diri yang mempunyai forum tersebut.
Dalam aspek ini, kesepakatan internasional
menyatakan bahwa kebebasan yang bersifat pribadi yang masuk pada forum
internum seperti ini tidak boleh dan tidak bisa dibatasi oleh siapapun termasuk
negara.
Aspek ke dua adalah forum externum, yaitu wilayah
yang berhubungan dengan menjalankan atau memanifestasikan dari hak dan
kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dalam wilayah ini negara sebagai entitas
berdaulat di ruang publik dapat membuat pembatasan, yaitu sesuai dengan pasal
18 ayat (3) dengan tujuan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau
moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain. Pembatasan dan
campur tangan negara ini dibentuk dalam sebuah peraturan perundang-undangan
sebagai norma publik yang memungkinkan publik (orang banyak) berpartisipasi
dalam membentuk dan mengawasi pelaksanaannya,
Maka jelaslah posisi UU No.1/PNPS/1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. UU ini berasal dari
Penetapan Presiden (PNPS) No. 1 tahun 1965 yang kemudian kedudukannya
ditetapkan menjadi undang-undang berdasarkan UU No. 5 tahun 1969 tentang
Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai
Undang-Undang. UU No.1/PNPS/1965 pernah diajukan uji materiil kepada Mahkamah
Konstitusi (MK) oleh beberapa fihak antara lain:
(1) Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif
Untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL),
(2) Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM),
(3) Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak
Asasi Manusia (PBHI),
(4) Perkumpulan Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan
Demokrasi (Demos),
(5) Perkumpulan Masyarakat Setara,
(6) Yayasan Desantara,
(7) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI),
(8) KH. Abdurrahman Wahid,
(9) Prof. Dr. Musdah Mulia,
(10) Prof. M. Dawam Rahardjo, dan
(11) KH. Maman Imanul Haq. Dengan banyak
pertimbangan upaya pengajuan uji metariil tersebut akhirnya ditolak oleh MK.
1.3.
Problematika Kebebasan beragama prespektif
HAM
Sejarah kehidupan bangsa Indoneisa mencatat
bahwa Fenomena diskriminasi dan kekerasan bukan hanya terjadi di dalam lingkup
kehidupan agama. Akan tetapi di dalam lingkup kehidupan ekonomi yang
berkelindan dengan masalah-masalah ras dan golongan. Diskriminasi dan kekerasan
di masa lalu, khususnya di kota-kota besar, lebih didominasi oleh kecemburuan
masyarakat terhadap etnis Tionghoa. Dalam kasus Sampit, yang menonjol adalah
kecemburuan masyarakat setempat terhadap etnis Madura. Pada masa lalu, di Aceh
dan beberapa daerah lain, kecemburuan ditujukan kepada orang Jawa, terutama
karena “orang Jawa” dianggap menguasai asset dan akses politik dan ekonomi
melalui fasilitas negara. Namun sekarang
ini, persoalan semakin bergeser ke ranah kehidupan agama dan keyakinan.
Namun, masalah kebebasan beragama dan
keyakinan, sesungguhnya telah muncul juga pada masa Orde Lama, Orde baru. Hanya
pada periode reformasi ini, masalah kebebasan beragama itu semakin meningkat
intensitas maupun akselerasinya.
Di masa Orde Lama (1945-19660, pemerintah
mengeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) RI No. 1 tahun 1965 yang menyatakan :
“ agama yang dipeluk penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Budha dan Konghucu”. Penetapan ini bersifat menjelaskan, tidak membatasi. Hal
ini dikemukakan dalam penjelasan Penpres tersebut : “ ini tidak berarti bahwa
agama-agama lain seperti Yahudi, Zaratustranian, Shinto, Taoisme, dilarang di
Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti diberikan oleh pasal 29 ayat 2
UUD’45, dan mereka dibiarkan adanya” Kata seperti artinya bahwa penyebutan beberapa
kepercayaan itu sekedar contoh. Ada banyak agama dan kepercayaan lain yang
berkembang dan diakui di Indonesia, seperti Kaharingan pada masyarakat Dayak
(Kalteng), Pangestu pada masyarakat Jawa, atau Parmalim (Sumut), Wiwitan
(Baduy-Banten). Semua agama dan kepercayaan itu dibiarkan adanya, meskipun
tidak terlalu diakui eksistensinya (lihat Gaus AF, 2008).
Pada masa Orde Baru, pembatasan dilakukan
terhadap agama Konghucu (yang pada masa Orde Lama justru diakui). Alasannya
lebih bersifat politis, yaitu dugaan adanya keterlibatan Republik Rakyat
Tiongkok pada peristiwa 1965. Sehingga melalui Instruksi Presiden No.14/1967
tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, seluruh aktivitas
peribadatan Konghucu, termasuk perayaan Imlek, dilarang Pada masa Orde Baru,
agama resmi-yang diakui oleh negara hanya lima agama tersebut di atas.
Agama-agama lokal diharuskan untuk bergabung dengan agama-agama yang mirip
dengan agama atau kepercayaan lokal itu. Misalnya orang-orang yang memeluk
agama Kaharingan harus masuk agama
Hindu, meskipun sebenarnya kedua ajaran agama itu berbeda. Bagi mereka yang
beragama Konghucu, dipaksa untuk pindah agama, menjadi Katolik atau Budha.[6]
Berbagai proses untuk meniadakan eksistensi
agama atau kepercayaan lokal dilakukan, antara lain melalui pembuatan kartu identitas diri,
seperti pembuatan KSK atau KTP. Di dalam formulir yang harus diisi, hanya ada
lima agama yang disebutkan, sehingga mereka yang memiliki agama dan kepercayaan
yang berbeda terpaksa harus menuliskan salah satu dari lima agama yang diakui
oleh negara. Untuk sebagian proses-proses itu masih berlangsung sampai
sekarang.
Di masa reformasi sekarang ini, di mana
kebebasan umum semakin terjamin, kebebasan beragama, terutama dari sisi
keamanan para pemeluknya, justru mengalami
kemunduran.
Jika di masa Orde Lama dan Orde Baru,
pembatasan atas kebebasan beragama dilakukan oleh negara, sekarang pembatasan
itu sebagian besar justru dilakukan oleh kekuatan-kekuatan masyarakat. Oleh
karena itu, di jaman kebebasan ini, kelompok-kelompok minoritas, khususnya
kelompok minoritas agama dan kepercayaan justru mengalami ketidakbebasan.
Kasus-kasus itu bergerak dan terus semakin
membesar. Mulai kasus Komunitas Eden (Lia Eden), kasus Al-Qiyadah (Ahmad
Mushadeeq), kasus penyerbuaan kantor Jaringan Islam Liberal, kantor Fahmina
Institute di Cirebon, penyerbuan kelompok Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), hingga kasus Penyerbuan, penganiayaan,
bahkan pembunuhan terhadap para pengikut Ahmadiyah. Kasus kekerasan terhadap
Ahmadiyah merupakan kasus paling besar dan nampaknya berjangka panjang, dengan
puncaknya di Cikeusik, Banten. Di luar itu, kita menyaksikan penyerbuan
Pesantren Syiah di Bangil-Pasuruan, Jawa Timur.
Di luar semua itu, kepada kita juga disuguhkan
fakta, bahwa sejak 1 Januari 2004 – 1 Desember 2007, ada 108 gereja di seluruh
Indonesia yang dirusak, meskipun proses pendiriannya telah mengikuti ketentuan
yang berlaku.
1.4.
Penodaan Agama dan tanggung jawab Negara
dalam melindungi umat beragama
Deklarasi HAM
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1948
menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan agama (Pasal 18). Konvensi
Internasional Hak Sipil dan Politik mengakui hak kebebasan beragama dan
berkeyakinan (Pasal 18).
Definisi hak kebebasan beragama secara
formal terdapat dalam DUHAM, tepatnya dalam Pasal 18 yang berbunyi:
“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsafan
batin dan agama, dalam hak ini termasuk kebebasan berganti agama atau
kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan
cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan menepatinya, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun yang
tersendiri.”
Pasal tersebut menjelaskan mengenai hak
kebebasan beragama yang terdiri dari; hak untuk beragama, hak untuk berganti
agama, hak untuk mengamalkan agama dengan cara mengajarkannya, melakukannya
baik secara sendiri ataupun kelompok dan di tempat umum atau tempat pribadi.
Pada tahun 1993 Komite HAM PBB dan sebuah
badan independen yang terdiri dari 18 orang ahli menjelaskan agama atau
keyakinan sebagai :“ Theistic, non-theistic and atheistic belief, as well as
the right not to profess any religion or belief.”
Definisi tersebut telah menjelaskan bahwa
agama atau keyakinan dapat berbentuk ketuhanan, non ketuhanan, tidak bertuhan
dan tidak mengakui sama sekali agama atau keyakinan tertentu
Di AS pemahaman mengenai freedom of
religion, baik dalam arti positif maupun negatif seperti diungkapkan Sir Alfred
Denning bahwa kebebasan beragama berarti bebas untuk beribadah atau tidak
beribadah, meyakini adanya Tuhan atau mengabaikannya, beragama Kristen atau
agama lain atau bahkan tidak beragama (Azhary, 2004, dalam Triyanto, 2008).
Pengertian kebebasan beragama seperti yang
ada dalam deklarasi umum PBB tentu saja bersifat sangat liberal, dan nampak
didominasi budaya Barat. Ini berbeda dengan konsep kebebasan beragama dan
berkeyakinan di Indonesia mengandung konotasi positif. Artinya, tidak ada
tempat bagi ateisme atau propaganda antiagama di Indonesia.
Itu juga yang menjadi penyebab, mengapa dalam
pengambilan keputusan mengenai DUHAM, khususnya pasal mengenai kebebasan
beragama, utusan Arab Saudi di PBB bersikap abstain. Karena menurut hukum
Islam, orang yang keluar dari agama Islam, atau tidak bertuhan berarti murtad
atau kafir.
Sebagai reaksi terhadap Deklarasi Umum HAM
yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka Organisasi Konferensi
Islam (OKI), pada akhirnya,tahun 1990, membuat sebuah deklarasi HAM yang
berlandaskan hukum Islam. Deklarasi tersebut dikenal dengan nama Cairo
Declaration ( Deklarasi Kairo/DK). DK bejumlah 30 pasal yang mengatur HAM, baik
dalam bidang hak sipil dan politik juga hak ekonomi, sosial dan budaya. Salah
satu hak yang diatur dalam DK adalah hak kebebasan beragama.
Pembukaan Deklarasi Kairo berbunyi
demikian:
“Berkeinginan untuk memberikan sumbangan
terhadap usaha-usaha umat manusia dalam rangka menegakkan hak-hak asasi
manusia, melindungi manusia dari pemerasan dan penindasan, serta menyatakan
kemerdekaan dan haknya untuk mendapatkan kehidupan yang layak sesuai dengan
syariat Islam.
Bahwa hak-hak asasi dan kemerdekaan
universal dalam Islam merupakan bagian integral agama Islam dan bahwa tak
seorang pun pada dasarnya berhak untuk menggoyahkan baik keseluruhan maupun
sebagian atau melanggar atau mengabaikanya karena hak-hak asasi dan kemerdekaan
itu merupakan perintah suci mengikat yang termaktub dalam wahyu Allah SWT. yang
diturunkan melalui nabi-Nya yang terakhir.”
Pasal 10 Deklarasi Kairo mengatur sebagai
berikut:
“Islam adalah agama yang murni ciptaan alam
(Allah SWT). Islam melarang melakukan paksaan dalam bentuk apapun atau untuk
mengeksploitasi kemiskinan atau ketidaktahuan seseorang untuk mengubah agamanya
atau menjadi atheis.” (lihat Eka A.
Aqimuddin, 2009).
Di Indonesia, kebebasan beragama dan
berkeyakinan dijamin oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menyatakan bahwa
negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan (Pasal 28E jo Pasal 29
ayat 1). Bahkan, dalam Pasal 28I UUD 1945 dinyatakan bahwa kebebasan beragama
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Ketentuan itu masih diperkuat lagi dalam
Pasal 22 UU No 39/1999 tentang HAM. Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir,
berkeyakinan, dan beragama.
Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut
atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri. Setiap orang
memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di dalam masyarakat, secara
publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau keyakinan di dalam
pengajaran dan peribadatannya.[7]
Soalnya adalah, jika dalam DUHAM, Deklarasi
Kairo maupun di dalam UU HAM kebebasan beragama dan berkeyakinan telah dijamin,
mengapa masih ada kekerasan atas nama agama?
Dalam serangkaian kasus kekerasan berbasis
agama di Indonesia akhir-akhir ini, kita dapat melakukan analisis berdasarkan
pada ketentuan normatif yang berlaku, baik yang ada dalam DUHAM, DK, UUD’45, UU
HAM maupun KUHP. Kasus-kasus tersebut di atas tadi memperlihatkan bahwa
berbagai ketentuan HAM maupun perundangan-undangan telah dilanggar.
Soalnya adalah, siapa yang harus menjamin
agar para pemeluk agama dan keyakinan yang menoritas ini dapat melaksanakan
ajaran agama dan kepercayaannya itu dengan tenang, aman dan tanpa ancaman?
UUD’45 pasal 18 telah menyebutkan bahwa
negarah, khsusunya pemerintahlah yang berkewajiban untuk menghormati,
melindungi, memajukan dan memenuhi Hak Asasi Manusia.
Demikian juga UU No.39/1999 pasal 71 dan 72
menegaskan bahwa jaminan itu menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya.
Seutuhnya bunyi
UU 39/1999 mengenai HAM, (Pasal 71) adalah demikian : “Pemerintah wajib dan
bertanggung jawab menghormati,melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi
manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain
dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara
Republik Indonesia”.
Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah
sebagaimana diatur pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam
bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan negara,
dan bidang lain. (Pasal 72)
Tentu ada masalah, ketika undang-undang
telah memberikan mandat, tetapi dalam praktiknya di lapangan, aparat keamanan negara terkesan membiarkan
kelompok-kelompok “penguasa dunia moral” dengan cara brutal menghakimi kelompok
lain yang agama dan keyakinannya berbeda. Ada apa semua ini? Ada yang bilang
bahwa semua itu adalah strategi elite penguasa untuk mengalihkan isu Bank
Century, kasus Gayus, kasus cek perjalanan terkait pemilihan Gubernur BI. Ada
juga yang menduga polisi di tingkat bawah takut dituduh melanggar HAM, dan
takut dihukum oleh atasannya jika bertindak keras; ada analisis lain yang
melihatnya sebagai akibat dari kepemimpinan nasional yang lemah, dan
sebagainya.
Ditengah berbagai ketidakmenentuan ini,
termasuk ketidakmenentuan analisis terhadap berbagai kasus kekerasan berbasis
agama tersebut, maka sudah waktunya dibangun gerakan advokasi yang kuat, agar
yang tidak menentu itu bisa lebih pasti. Terutama kepastian bahwa mereka yang
melanggar hukum harus ditindak secara tegas, sesuai peraturan yang
berlaku.
1.5.
Kasus kasus penodaan di Indonesia
Kasus penodaan agama dan rumah ibadah di Indonesia sampai saat ini
menunjukkan tren yang meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan tidak tertutup
kemungkinan, kejadiannya akan terus meningkat di 2013.
“Kalau di tahun sebelumnya tidak ada terobosan dalam penyelesaiannya,
kemungkinan kasus penodaan agama dan rumah ibadah ini akan berulang di 2013
ini, bahkan meningkat,” kata Ketua Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS)
Universitas Gajah Mada (UGM) Zainal Abidin Bagir, saat menyampaikan laporan
tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2012, di UGM, Kamis 25 April 2013.
Zainal mengungkapkan, kasus penodaan agama dan rumah ibadah yang
terjadi di Indonesia mengalami peningkatan secara kualitas. Hal ini terlihat
dari adanya korban jiwa yang meninggal akibat dari kasus ini.
Pada tahun 2011 lalu terdapat tiga korban meninggal terkait kasus
Ahmadiyah di Gresik.
Selanjutnya di tahun 2012 kasus Syiah di Sampang memakan satu orang
korban meninggal dunia. “Meskipun secara jumlah hanya sedikit memakan korban,
tetapi kondisi ini cukup mengkhawatirkan jika tidak segera dicarikan jalan
keluar,” ucap Zainal.[8]
Fenomena munculnya berbagai pemikiran,
paham, aliran dan gerakan keagamaan di Indonesia beberapa tahun terakhir ini,
di satu sisi dinilai positif, sebagai salah satu indikator kebebasan beragama. Di sisi
lain, menimbulkan keresahan masyarakat
di negeri ini. Kebebasan beragama dijamin Undang-undang Dasar Tahun 1945,
tetapi tidak berarti boleh melakukan penodaan, pelecehan dan pencemaran agama.
Penodaan dan pelecehan atau pencemaran agama akhirnya harus berhadapan dengan
undang-undang, yakni UU PNPS Nomor 1, Tahun 1965, tentang Penodaan dan
Pencemaran Agama.
Perkembangan berbagai dinamika pemikiran,
faham, aliran dan gerakan keagamaan tersebut sebenarnya disebabkan oleh adanya
faktor internal dan eksternal. Faktor internal dimaksud antara lain adalah
adanya perbedaan paradigma pemikiran yang dipergunakan dalam menafsirkan ajaran
agama, kejumudan pemikiran dan pengamalan agama (kemapanan), perbedaan dalam
penafsiran terhadap pokok-pokok ajaran agama, dan ketidakpuasan terhadap
meanstreim pemikiran keagamaan dan dalam pengelolaan umat beragama. Akhirnya
pemikiran alternatif, faham alternatif, aliran alternatif dan gerakan keagamaan
alternatif menjadi niscaya untuk terjadi. Sedangkan faktor eksternal adalah
pengaruh pemikiran dari luar seperti perkembangan pemikiran dalam mamahami
teks-teks agama dan cara merespon realitas kehidupan sosial kemasyarakatan dan
kehidupan sosial keagamaan yang berkembang dewasa ini.
Pada tahun 2010 ini Puslitbang telah
melaksanakan kegiatan penelitian Kasus-Kasus Keagamaan Aktual di Indonesia yang
meliputi Kasus Surga Adn, Millah Ibrahim, Sabdo Kusumo, Perbedaan awal Ramadhan
dan salat Idul Fitri dari Tarekat Naqsyabandiyah dan Satariyah serta Pelayanan
Publik terhadap Umat Hindu
Penelitian yang dilaksanakan secara deskriptif dengan
pendekatan kualitatif. Penelitian yang dihasilkan adalah sebagai berikut;
A. Kasus Surga Adn Kabupaten Cirebon
1.
Aliran Surga Adn dan Ketokohan Ahmad Tantowi sebagai al Fikri dan
mengaku sebagai Tuhan Allah dan kemunculannya akibat konflik pribadi dan
pemerasan oleh ADN. ADN singkatan dari Andi (sang pelapor), Djodi (D) (CPM TNI
AD aktif adalah bapaknya Andi) yang memeras Ahmad Tantowi dan Nia (N) adalah
isteri Andi.
2.
Buku Ahmad Tantowi yang dikaji oleh MUI Propinsi Jawa Barat tidak ada
kaitan dengan laporan Andi kepada berbagai pihka serta dengan buku catatan Andi
yang melaporkan Ahmad Tantowi.
3.
Tempat-tempat yang memiliki nama aneh-aneh seperti Sirotol Mustaqim
karena tempatnya di bawah jembatan tol Kanci yang memang lurus; Baitullah,
karena pintu dorong (gerbang) ada tulisan Allah (bahasa Arab). Surga Adn,
karena penataan lahan dilakukan dengan
sentuhan seni artektur sangat tinggi dan situasinya sangat tenang, setenang
surga yang digambarkan oleh agama Islam sendiri.
4.
Berita-berita media massa yang memblaw up Surga Adn diduga dibayar pihak
tertentu dan boleh jadi merupakan kelengkapan sempurnanya sandiwara belaka.
B. Kasus Millah Ibrahim di Kota Cirebon
1.
Ajaran Millah Ibrahim ini dikembangkan oleh Zubaedi Djawahir, terdapat
penyimpangan dari paham yang dianut oleh mayoritas umat Islam, diantaranya
ajaran tentang wahyu, rasul, sunnah, shalat jumat, dan zakat.
2.
Walaupun dia tidak mendeklarasikan dirinya sebagai rasul, pengikutnya
menganggap dia sebagai rasul, sesuai dengan kriteria yang dibuat oleh Zubaedi
sendiri dan ajaran ini sudah tersebar di Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon,
khusus di Kota Cirebon tersebar di RT
06,08,09 RW 08 dan beberapa tempat di kelurahan lainnya.
3.
Tindakan yang dilakukan baik oleh MUI maupun Bakor Pakem setempat sudah
cukup bijaksana dan cepat, sehingga tidak menimbulkan benturan dalam
masyarakat, sementara respon masyarakat setempat umumnya mengharapkan agar
pemerintah segera melarang ajaran tersebut, sebab ada ke khawatiran, anak-anak
mereka akan terpengaruh oleh ajaran tersebut.
C. Kasus Ajaran Sabdo Kusumo
1.
Timbulnya Ajaran Sabdo Kusumo di Kabupaten Kudus tidak terlepas dengan
keberadaan Sabdo Kusumo yang nama aslinya Kusmanto, asal Desa Terban Kecamatan Jekulo. Keberadaannya
ditopang oleh faktor ekonomi dan
rendahnya pengetahuan agama sebagian
masyarakat, yang ditandai
diresponnya secara positif oleh sebagian
kecil masyarakat terutama sebagian
kalangan pengusaha kelas menengah yang
sedang menghadapi problem ekonomi.
2.
Kegiatan keagamaan yang menonjol
adalah acara khaul yang diselenggarakan secara rutin sebulan sekali dan setahun
sekali. Acara khaul diisi antara lain:
pembacaan tahlil, dzikir/wirid, shalawat dan kirim do’a untuk almarhum
Eyang Suma Winata (orang tua Sabdo Kusumo) dan para leluhur lainnya. Acara
khaul yang dilakukan dengan
mengundang masyarakat sekitar termasuk para tokoh agama/ulama setempat dan
dari berbagai daerah di Jawa,
mengesankan sebagai upaya Sabdo Kusumo untuk mencari dukungan sekaligus
legitimasi dari para ulama atas ajaran yang disebarkan.
3.
Masyarakat Kudus dengan dimotori oleh komunitas Menoro menolak
keberadaan Ajaran Sabdo Kusumo dengan dalih karena menyebarkan ajaran-ajaran
yang menyimpang dari pokok ajaran Islam dan meminta agar pemerintah melarang
penyebaran ajaran tersebut. Komunitas
Menoro merasa tersinggung atas keberadaan ajaran itu di lingkungan Menoro, karena
Menoro merupaka simbul spiritual keislaman masyarakat Kudus selama ini.
D. Kasus Perbedaan Penentuan awal Ramadhan dan salat
Idul Fitri dari Tarekat Naqsyabandiyah dan Satariyah
1.
Perbedaan awal Ramadhan, salat Idul Fitri dan Idul Adha di tengah-tengah
masyarakat Padang Pariaman dan kota Padang antara satu kelompok dengan kelompok
lain selalu terjadi setiap tahun.
2.
Melihat bulan merupakan salah satu metode penentuan awal Ramadhan dan
Syawal sesuai dengan ketentuan rukyat hilal yang ada di dalam hukum Fikih
Mazdhab Syafi’i. Ketentuan hukum fiqih tentang rukyat hilal di dukung oleh
banyak hadist Nabi SAW, akan tetapi dalm perkembangannya, melihat bulan di
kalangan ulama Syattariyah menjadi satu tradisi tersendiri, sehingga berbeda
dengan rukyat hilal yang dipahami secara umum.
3.
Kelompok ulama Naqsabandi yang mempercepat perhitungannya satu hari,
namun tetap menggunakan taqwim sebagai acuan.
E. Pelayanan Publik terhadap Umat Hindu di Kota
Semarang
1.
Belum dianggap singkrun antara perkawinan yang diatur oleh Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Walikota Semarang Nomor 2A Tahun 2009 Petunjuk
Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2008, dengan adat dan aturan Agama Hindu.
2.
Adanya perbedaan fungsi sahnya perkawinan menurut Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 dan kewenangan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Semarang
dengan sahnya perkawinan agama Hindu.
3.
Begitu pula perbedaan fungsi sahnya perceraian antara kewenangan adat
(agama Hindu) dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Semarang.
4.
Upacara Widhiwidana harus ada surat dari Pandita, dalam surat dilakukan
sumpah oleh kedua mempelai. Bila upacara adat perkawinan yang dilakukan di
rumah, sama upacara adatnya yang dilakukan di Pura.
5.
Pengakuan sahnya anak dan akta kelahiran dari Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kota Semarang.
6.
Perbedaan pengaturan kematian hukum adat (agama Hindu) dengan ketentuan
peraturan.
7.
Pasangan mempelai atau umat Hindu yang sudah berkeluarga pada umumnya
tidak melaporkan untuk pencatatan perkawinan ke Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kota Semarang.
8.
Mendapatkan surat pengantar kawin dari pihak kelurahan (Pak Lurah)
dilakukan setelah Upacara Wantilan Pura.
9.
Kedua mempelai pengantin setelah mendapat upacara pengukuhan perkawinan
(Wiwaha Samskara) dari Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan melanjutkan minta
dilakukan pencatatan ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Semarang,
namun problemnya banyak tidak dilakukan hal tersebut.
10.
Biaya pengurusan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota
Semarang dalam prakteknya antara Rp. 170.000,- hingga Rp. 200.000,- bila
terlambat satu bulan berikutnya Rp. 300.000,-
11.
Pelayanan yang dianggap belum optimal adalah masih banyaknya umat Hindu
belum mendapatkan kutipan pencatatan perkawinan dari pihak Dinas Kependudukan
dan Pencatatan Sipil Kota Semarang. Selama ini, pencatatan perkawinan mereka
masih memedomani ataupun memegangi kepada surat Wiwaha Samskara (Upacara
Pengukuhan Perkawinan) umat Hindu yang dikeluarkan oleh Parisada Hindu Dharma
Indonesia.
Adapun rekomendasi yang dapat disampaikan dari hasil
penelitian ini adalah;
A. Kasus
Surga Adn di Kabupaten Cirebon
1.
Hendaknya semua pihak arif dan bijaksana dalam menangani kasus yang
diduga sebagai aliran sesat, termasuk yang diduga ajaran yang dianggap sesat.
2.
Mesti didahului dialog terlebih dahulu dengan korban, jangan menggunakan
peri-laku premanisme menangani kasus aliran keagamaan, sehingga tidak
meresahkan masyarakat.
3.
Perkara aliran Surga Adn yang ternyata melibatkan oknom CPM TNI AD
aktif, perlu berhati-hati menanganinya agar tidak banyak korban berjatuhan.
B. Kasus Millah Ibrahim di Kota Cirebon
1.
Untuk menghilangkan kekhawatiran masyarakat akan berkembangnya ajaran
Zubaedi Djawahir ini, hendaknya Kejaksaan Tinggi Jawa Barat segera mengeluarkan
pelarangan terhadap ajaran Zubaedi Djawahir, yang tersebar di dalam berbagai
media.
2.
Perlu dilakukan dialog dan diskusi dengan Zubaedi Djawahir, untuk
mencari solusi terhadap berbagai hal yang dianggap menyimpang atau sesat oleh
MUI dan umat Islam lainnya.
3.
Terhadap pengikut Zubaedi Djawahir perlu dilakukan pembinaan dengan
pendekatan yang persuasip dengan tidak menyalahkan mereka, atau dengan kata
lain mereka dirangkul bukan dipukul.
C. Kasus Sabdo Kusumo di Kabupaten Kudus
1.
Pihak Pimpinan Kementerian Agama khususnya Kab. Kudus diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan agama masyarakat khususnya yang tergolong
pengetahuan agamanya rendah, agar tidak mudah terpengaruh mengikuti
ajaran-ajaran keagamaan yang tidak
berdasar kepada sumber yang benar.
2.
Peningkatan pengetahuan agama
masyarakat hendaknya diupayakan secara terprogram melalui program
bimbingan agama, dengan mengoptimalkan peran para penyuluh agama yang ada
bersinergi/bekerjasama dengan para tokoh agama /ulama setempat.
3.
Untuk menentukan menyimpang-tidaknya suatu ajaran agama –termasuk ajaran
Sabdo Kusumo-, Kementerian Agama
Kabupaten Kudus melakukan kajian secara seksama terhadap dasar-dasar yang
menjadi rujukan ajaran yang bersangkutan –termasuk naskan yang dijadikan
pedoman ajaran-. Dalam kasus ajaran Sabdo Kusumo yaitu: naskan “Sabdaning
Suma”.
4.
Pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Kudus kiranya dapat melakukan
penghentian penyebaran Ajaran Sabdo Kusumo
dengan alasan bahwa ajaran itu
“menodai ajaran agama Islam”, atau alasan
“meresahkan masyarakat”.
D. Perbedaan
awal Ramadhan dan salat Idul Fitri dari Tarekat Naqsyabandiyah dan Satariyah di
Padang
1.
Kepada ulama, tuanku, ustadz beserta seluruh warga masyarakat hendaknya
memahami perbedaan dalam penentuan bulan qamariyah secara dewasa dan bijak demi
untuk menjaga kerukunan hidup beragama ditengah masyarakat Suamtera Barat.
Apabila mungkin perlu dilakukan sosialisasi sistem hisab dan rukyah yang
dilakukan pemerintah kepada daerah-daerah yang bermasalah.
2.
Hendaknya dapat dilaksanakan musyawarah
antara ulama-ulama Syatari, Naqsabandi dan ulama-ulama lainnya berkaitan
dengan penentuan awal bulan.
3.
Hendaknya dilaksanakan lokakarya ulama dan ahli falak yang diadakan di
daerah kasus dalam penentuan awal bulan, baik dengan hisab maupun rukyah.
4.
Agar pemerintah setempat tanggap dengan persoalan keagamaan yang muncul,
dan melakukan bimbingan dan pembinaan kepada umat.
E. Pelayanan Pemerintah Daerah terhadap Umat Hindu di
Kota Semarang
1.
Hendaknya dapat dilakukan sosialisasi secara intensif perangkat
peraturan perundang-undangan kepada umat Hindu dan aparat Pemerintah Daerah
(Kementerian Agama dan Kantor catatan Sipil) Kota Semarang
2.
Hendaknya pemerintah daerah, utama Kementerian Agama dan kantor Catatan
Sipil memberikankan kemudahan yang sudah pernah diberikan dengan memberikan
gratis kepada penduduk yang mengurus surat yang terkait Administrasi
Kependudukan.[9]
KESIMPULAN
Ada
banyak ragam agama di dunia ini merupakan hal yang wajar, Agama langit punyang
merupakan agama yang diperintahkan langsung oleh Allah dalam Idlam itu ada
tiga,Islam, Yahudi dan Nasrani. Jida kiranya tidak heran jika ada atau muncul
agama-agama lainyang benar menurut pengikutnya. Namun yang harus dipahami,
bahwa semua agamamenyeru kepada kebaikan dan keharmonisan. Kebanyakan orang
beragama demikian pulatokoh agamanya sering lupa, bahwa mereka hidup dalam
negara Pancasila, yang sudah diatur oleh undang-undang dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, sehingga tidak ada alasanuntuk memaksa dan melakukan
hegemoni terhadap orang lain atau agama dan kepercayaanlain.Begitu pula
sebagian umat Islam yang merupaka agama mayoritas juga tidak ingat, bahwa Nabi
Muhammad SAW sebagai pemimpin agama dan Negara di Madinah pada masaitu tidak
pernah melakukan pemaksaan dan kekerasan terhadap pemeluk agama non-Islam.
Jika dibayangkan, alangkah indahnya jika semua
umat beragama saling bahu membahu untuk membagun bangsa dan negara ini, tanpa
ada saling curiga satu sama lain. Secara teologismemang antara satu agama
dengan agama yang lain berbeda, namun tidak ada alasan dengan perbedaan itu
lalu kita tidak mampu hidup bersama, sebab ada nilai kemanusiaan universalyang
mesti ditegakkan oleh setiap umat beragama, misalnya, menegakkan keadilan,
kejujurankasih-sayang sesama dan seterusnya.Kebebasan beragama dalam konteks
Indonesia diatur dalam undang-undangsebagai ”bebas untuk memilih dan memeluk
agama tertentu”, bukan bebas untuk tidak beragama, karena Indonesia adalah
negara Pancasila yang berdasarkan pada Ketuhanan YangMaha Esa.Secara empirik,
kebebasan beragama di Indonesia belum berjalan dengan baik,terbukti masih ada
agama yang dilarang karena dianggap “sesat”. Masih terjadi tindak kekerasan
oleh satu agama ataui aliran terhadap agama atau aliran yang lain. Kasus
pelarangan terhadap aliran agama yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah dan
alirankeagamaan yang lain oleh pemerintah menunjukkan hal ini, demikian pula
sekelompok umatyang melakukan tindak kekerasan dan perusakan tempat-tempat
ibadah terhadap agama ataualiran lain juga merupakan bukti empirik akan adanya
pelanggaran HAM tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Billah. M.M. 2007. Pluralitas Agama di
Indonesia: Memilih Kerangka Pemahaman atas Keberadaan Aliran Keagamaan dari
Perspektif Teologi dan HAM . Malang: UINMalang
Haryatmoko. 1999. Pluralisme Agama dalam
Perspektif Filsafat . Yogyakarta: IAIN SunanKalijaga
Reese. 1999. Dictionary of Philosophy and
Religion. New York: Humanities Books
Pulungan, J. Suyuthi. 1994. Prinsip-prinsip
Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjaudari Pandangan al Quran. Jakarta:
Rajawali Press.
[1] Haryatmoko.
1999. Pluralisme Agama dalam Perspektif Filsafat . Yogyakarta: IAIN SunanKalijaga hal 16
[2] Billah.
M.M. 2007. Pluralitas Agama di Indonesia: Memilih Kerangka Pemahaman atas
Keberadaan Aliran Keagamaan dari Perspektif Teologi dan HAM . Malang: UINMalangnhal 76
[3] Billah.
M.M. 2007. Pluralitas Agama di Indonesia: Memilih Kerangka Pemahaman atas
Keberadaan Aliran Keagamaan dari Perspektif Teologi dan HAM . Malang: UINMalang hal 57
[4] Haryatmoko.
1999. Pluralisme Agama dalam Perspektif Filsafat . Yogyakarta: IAIN SunanKalijaga hal 109
[5] Reese.
1999. Dictionary of Philosophy and Religion. New York: Humanities Books
[6] Pulungan,
J. Suyuthi. 1994. Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah
Ditinjaudari Pandangan al Quran. Jakarta: Rajawali Press. Hal 77
[7] Pulungan,
J. Suyuthi. 1994. Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah
Ditinjaudari Pandangan al Quran. Jakarta: Rajawali Press. Hal 153