Total Tayangan Halaman

Rabu, 31 Juli 2013

Kaidah Fiqh "Adat Muhakamah"

العادة محكمة
“Adat kebiasaan dapat dijadikan pijakan hukum”

A. Dasar Kaidah
Dasar kaidah ini adalah Hadis Mauquf:
ما رأه مسلمون حسنا فهو عند الله حسن (أخرجه أحمد عن إبن مسعود)
Apa yang dipandang baik oleh orang islam, maka baik pula di sisi Allah
Sebagian ulama berpendapat bahwa dasar kaidah di atas adalah Firman Allah, Surat Al-A’raf: 199).
خذ العفو العفو وأمر بالمعروف وأعرض عن الجاهلين
Berikanlah maaf (wahai Muhammad) dan perintahkanlah dengan sesuatu yang baik, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh” (QS. Al-A’raf: 199).
Setelah memperhatikan kaidah serta ayat-ayat dan hadist yang menjadi dasar kaidah, perlu kiranya dijelaskan lebih dahulu tentang Ta’rif dari Al-Adaah dan Al-Uruf serta hubungannya dengan hadist.
Menurut Al-Jurjani:
العادة ما استمر الناس عليه على حكم المعقول وعادوا إليه مرة بعد أخرى
Al-Adaah ialah sesuatu (Perbuataa atau Perkataan) yang terus menerus dilakukan oleh manusia, karena dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulang-ulangnya terus menerus
Sedangkan Al-Uruf, kebanyakan ulama Fiqih mengartikan sebagai kebiasaan yang dilakukan banyak orang (kelompok) dan timbul dari kreatifitas-imajenatif manusia dalam membangun nilai-nilai budaya.
Sedangkan Al-Uruf, terbentuk dari akar kata Al-Muta’araf, yang mempunyai makna “saling mengetahui”. Dengan demikian, proses terbentuknya adat, menurut Muhammad Shidqi adalah akumulasi dari pengulangan aktivitas yang berlangsung terus menerus. Proses pengulangan inilah yang disebut Al-‘awd wal mu’awadah. Ketika pengulangan itu membuatnya tertanam dalam hati setiap prang, maka ia telah memasuki stadium Al-Muta’araf.
Adapun “Uruf” menurut ulama Ushul Fiqih adalah:
عادة جمهور قوم فى قول او فعل
Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan
Dari definisi-definis di atas dan juga ta’rif yang diberikan oleh ulama-ulama yang lain, dapat dipahami bahwa Al-Uruf dan Al-Adah adalah searti, yang mungkin merupakan perbuatan atau perkataan. Keduanya harus betul-betul berulang-ulang dikerjakan oleh manusia, sehingga melekat pada jiwa, diterima dan dibenarkan oleh akal dan pertimbangan yang sehat serta tabiat yang sejahtera.
Hal yang demikian itu tentu merupakan hal yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syara’, sehingga merupakan yang dimaksud oleh hadis di atas, yaitu apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin.
Dengan sendirinya tidak termasuk dalam pengertian “adaah dan uruf di sini, hal-hal yang membawa kerusakan, kedurhakaan, tidak ada faedahnya sama sekali. Misalnya: Muamallah dengan riba, judi, saling daya memperdayakan, menyabung ayam dan sebagainya. Meskipun perbuatan-perbuatan itu telah menjadi kebiasaan dan mungkin bahkan tidak dirasa lagi keburukannya.
B. Syarat-Syarat Adat/Urf Dapat Dijadikan Pijakan Hukum
Suatu perbuatan dalam masyarakat, apabila sudah dapat dikategorikan dalam definisi di atas, dapat ditetapkan sebagai hukum atau dapat dijadikan sebagai sumber hukum.
Secara umum, terdapat empat syarat bagi sebuah hadis tradisi untuk dijadikan pijakan hukum, yaitu:
1. Tidak bertentangan dengan salah satu nash syari’at. Artinya ada tersebut berupa ada shahih sehingga tidak akan menganulir seluruh aspek subtansial nash. Sebab bila seluruh isi subtantif nash tidak teranulir, maka tidak dinamakan bertentangan dengan nash, karena masih terdapat beberapa unsur nash yang tidak tereliminasi.
2. Berlaku dan atau diberlakukan secara umum dan konstan (iththirad) dan menyeluruh, atau minimal dilakukan kalangan mayoritas (ghalib). Bila tidak ada yang mengerjakan, maka itu hanya sebagian kecil saja dan tidak begitu dominan. Cara mengukur konstansi adat sepenuhnya diserahkan pada penilaian masyarakat (ahl uruf), apakah ia dianggap sebagai pekerjaan yang sangat sering mereka jalankan atau tidak.
3. Perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat, syarat ini menunjukkan bahwa adat tidak berkenaan dengan perbuatan ma’siat.
4. Tidak mendatangkan Kemadlorotan serta sejalan dengan jiwa dan akal yang sejahtera.
Di antaranya perbuatan yang hukumnya oleh Rasulullah saw, ditetapkan berdasarkan adat ialah seperti yang diterangkan hadits:
قدم النبي صلى الله عليه وسلم المدينة وهم يسلفون الثمار السنة والسنتين فقال: من سلف في ثمر فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم (أخرجه البخاري عن إبن عباس)
Ketika Nabi SAW. Datang di Madinah, mereka (penduduk Madinah) telah (biasa) memberi uang panjar (uang muka) pada buah-buahan untuk waktu satu tahun atau dua tahun. “Maka Nabi bersabda: Barang siapa memberi uang panjar pada buah-buahan, maka berikanlah uang panjar itu pada takaran yang tertentu, timbangkan yang tertentu dan waktu tertentu”
Demikianlah maka semua kebiasaan yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syara’ dalam muamalat seperti dalam jual beli, sewa-menyewa, kerja samanya pemilik sawah dengan penggarap dan sebagainya, adalah merupakan dasar hukum, sehingga seandainya terjadi perselisihan pendapat di antara mereka, maka penyelesaiannya harus dikembalikan pada adat kebiasaan atau uruf yang berlaku. Demikian pula dalam munakahat seperti tentang banyaknya mahar, atau nafakah, juga harus dikembalikan kepada adat kebiasaan yang berlaku.
Dalam hubungannya dengan kaidah ini para fuqoha’ mengatakan:
كل ما ورد به الشرع مطلقا ولا ضابط له في اللغة يرجع فيه الى العرف
Semua yang datang dari syara’ secara mutlak, maka ada ketentuaannya dalam agama dan tidak ada bahasa, maka dikembalikan kepada Urf
Dari berbagai kasus “Urf” yang dijumpai, para ulama ushul fiqih merumuskan kaidah-kaidah fiqih yang berkaitan dengan “Uruf”, diantaranya adalah yang paling mendasar:
1. العادة محكمة
“Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum”
2. لا ينكر الأحكام بتغير الأزمنة والأمكنة
“Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat”
3. المعروف عرفا كالمشروط شرطا
“Yang baik itu menjadi Urf, sebagaimana yang disyariatkan itu menjadi syarat”
4. الثابت بالعرف كالثابت بالنص
“Yang ditetapkan melalui Urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash (Ayat dan Hadist)"
Para ulama ushul fiqih juga sepakat bahwa hukum yang didasarkan kepada “urf” bisa berubah dengan perubahan masyarakat pada zaman tertentu dan tempat tertentu.
2. Uraian Kaidah
Dari kaidah kelima ini dapat di perinci, antara lain :
a. اِسْتِعْمَا لُ النَّا سِ حُجَّةٌ يَجِبُ ا لْعَمَلُ بِهَا
"apa yang biasa di perbuat orang banyak, merupakan hujjah yang wajib di amalkan"
Segala sesuatu yang biasa di kerjakan oleh masyarakat bisa menjadi patokan. Maka setiap anggota masyarakat dalam melakukan sesuatu yang telah terbiasakan itu selalu akan menyesuaikan dengan patokan tersebut atau tegasnya tidak menyalahinya.
b. يُنْكِرُ تَغَيَّرُ الاَ حْكَا مُ بِتَغَيَّرِ اْلاَ زْ مَا نِ
"tidak dapat diingkari adanya perubahan hukum akibat berubah masa"
Setiap perubahan masa, menghendaki kemashlahatan yang sesuai dengan keadaan masa itu. Hal ini mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan suatu hukum yang di dasarkan pada kemashlahatan. Jadi hukum bias berubah – ubah sesuai dengan perkembangan masa. Hanya saja kaidah ini tidak berlaku dalam lapangan ibadah.
c. ا لْكِتَا بُ كا لْخِطَا بِِ " tulisan itu sama dengan ucapan "
Suatu keterangan ataupun yang lainya yang diterangkan dalam bentuk tulisan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan ucapan lisan.
Masalah ini di bicarakan dalam hukum acara Islam sebagai "bukti tertulis" yang dahulu tidak dapat di terima karena belum banyak orang yang mengenal/mengetahui tulisan atau belum meyakinkan kebenaranya. Tetapi sekarang dengan dasar istihsan, bukti tertulis dapat di terima. Penggunaan kaidah ini lebih banyak menguntungkan bagi kelancaran hidup, karena masa sekarang telah kita kenal adanya ilmu tentang tipe tulisan dan hubungan dengan penulisnya, dalam rangka pembuktian autensitas tulisan tersebut. Qaidah ini banyak sekali di gunakan dalam dunia perdagangan seperti kwitansi, cek, dsb.
d. اَلتَّعْيِيْنَ بِا لْعُرْ فِ كَا لتَّعْيِيْنِ بِا لنَّصِّ
" menentukan dasar urf, seperti menentukan dengan berdasarkan nash "
Suatu penetapan hukum berdasarkan urf yang telah memenuhi syarat-syarat sebagai dasar hukum, sama kedudukannya dengan penetapan hukum yang didasarkan nash. Kaidah ini banyak berlaku pada urf-urf khusu, seperti utf yang berlaku diantara para pedagang dan berlaku didaerah tertentu, dll.
III. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa :
Kaidah pokok kelima : العاد ت محكمة "Adat kebiasaan dapat di tetapkan sebagai hukum" Suatu peristiwa dalam masyarakat, yang biasa di lakukan orang banyak dapat di jadikan sebagai sumber hukum selama tidak bertentangan dengan nash atau syari'at.
Uraian kaidah :
1. اِسْتِعْمَا لُ النَّا سِ حُجَّةٌ يَجِبُ ا لْعَمَلُ بِهَا " Apa yang biasa di perbuat orang banyak, merupakan hujjah yang wajib di amalkan"
2. لاَ يُنْكِرُ تَغَيَّرُ الاَ حْكَا مُ بِتَغَيَّرِ اْلاَ زْ مَا نِ " Tidak dapat diingkari adanya perubahan hukum akibat berubah masa"
3. ا لْكِتَا بُ كا لْخِطَا بِِ " Tulisan itu sama dengan ucapan "
4. اَلتَّعْيِيْنَ بِا لْعُرْ فِ كَا لتَّعْيِيْنِ بِا لنَّصِّ " Menentukan dasar urf, seperti menentukan dengan berdasarkan nash "



Referensi:
Ash-Shiddiqiy, Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Jakarta.
Nasrun, Haroen, (1997). Ushul Fiqhi I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Mujib, Abdul. (1998). Formulasi Nalar Fiqih. Bandung: CV. Pustaka Setia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar