BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam adalah agama fitrah, agama yang sejalan dengan
tuntutan watak dan sifat pembawaan kejadian manusia. Oleh karena itu, Islam
memperhatikan kenyataan-kenyataan manusiawi, kemudian mengaturnya agar sesuai
dengan nilai-nilai keutamaan. Pengaruh iklim membawakan perbedaan-perbedaan
dalam kenyataan hidup manusia. Tiap-tiap individu mempunyai pembawaan yang
mungkin berbeda dengan individu yang lain. Keadaan sosial dalam suatu
masyarakat pada masa terterntu mengalami problem-problem yang minta pemecahan.
Sebenarnya tujuan dari peraturan tentang poligami
dalam Islam itu diantaranya ialah untuk menyelamatkan dan menolong kaum wanita,
sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah SAW terhadap istri-istri beliau.
Al-Qur’an surat An-Nisa’ (4) : 3 berfungsi memberikan batasan serta syarat yang
ketat, yaitu batasan maksimal empat istri dengan ketentuan mesti berlaku adil.
Artinya tidak boleh ada anggapan bahwa Al-Qur’an mendorong poligami, tetapi
justru memberikan jalan keluar apabila dalam suatu keadaan terpaksa seorang harus
memilih antara perzinahan dan poligami, atau antara membiarkan wanita terlantar
dan sengsara tak bisa nikah dan menjadi istri kedua. [1]
Pembacaan terhadap dasar nash maupun hadits
berkenaan dengan masalah ini hendaknya dilakukan secara utuh. Untuk menentukan
seatu hukum atas boleh atau tidaknya poligami harus mengkaji semua ayat maupun
hadits yang brkenaan dengannya dengan selektif
dan penafsiran yang memperhatikan berbagai persepektif, baik secara
tetkstual maupun kontektual. Untuk mengambil suatu kesimpulan hukum tidak bisa
dilakukan secara parsial atau setengah-setengah dalam pembacaannya. Karena itu
makalah ini, penulis mencoba memaparkan beberapa hadits mengenai masalah
poligami yang penulis uraikan berangkat dari pemahaman teks yang biasa dijadikan
rujukan bagi orang-orang yang pro dan kontra poligami. Dan posisi penulis dalam
masalah ini adalah sebagai penengah.
Poligami merupakan salah satu persoalan dalam
perkawinan yang paling banyak dibicarakan sekaligus kontorversial. Satu sisi
poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif,
psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan gender. Bahkan para
penulis barat sering mengklaim bahwa poligami adalah bukti bahwa ajaran Islam
dalam bidang perkawinan sangat deskriminatif terhadap perempuan . pada sisi
lain, poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normatif yang tegas
dan dipandang sebagai salah satu alternatif
untuk menyelesaikan perselingkuhan.
Wacana mengenai poligami kembali menjadi issu
sentral disetiap kondisi, waktu dan tempat. Tidak saja pada lingkup akademisi,
lembaga pengajian, pondok pesantren, cermah di masjid tetapi juga di
warung-warung kopi, pangkalan ojek ataupun kerumunan ibu-ibu dan bapak-bapak.
Kasus poligami da’i Selebritis, kondang dan menjadi idola para wanita KH.
Abdullah Gymnastiar yang lebih terkenal dengan sebutan Aa’ Gym telah menguak kembali
polemic lama mengenai eksistensi poligami dalam Islam.
Pada prinsipnya hukum Islam dan hukum positif di
Indonesia menghendaki adanya azas monogamy dalam perkawinan. Akan tetapi dalam
kondisi tertentu, baik hukum islam maupun hukum positif di Indonesia tetap
membolehkan adanya poligami (beristeri lebih seorang).
Azas monogami diberlakukan untuk menjaga
kemungkinan- kemungkinan yang timbul sebagai akibat dari poligami itu sendiri,
sehingga dengan demikian poligami hanya diperbolehkan jika kondisi sangat
menuntut. Dan poligami pun merupakan pintu darurat yang hanya diperbolehkan
bagi orang- orang yang memang sangat membutuhkannya. Di samping hal tersebut,
poligami hanya diizinkan dengan memperhatikan syarat yakni dapat dipercaya
bahwa orang yang melakukan poligami tersebut benar- benar dapat menegakkan
keadilan dan aman dari suatu perbuatan yang melampaui batas. Jadi tidak semua
pria boleh melaksanakan poligami.
Banyak fakta yang dapat dilihat dalam kehidupan,
bahwa poligami banyak menimbulkan akibat- akibat yang kurang baik bagi
kelangsungan rumah tangga. Misalnya saja dua orang yang dimadu, senantiasa
membujuk anaknya masing- masing untuk saling memusuhi saudaranya dari ibu yang
lain. Dalam hal yang lain dapat pula terjadi seorang isteri akan senantiasa
mempengaruhi suaminya agar hanya mencintai anak- anaknya dari pada anak-
anaknya yang berasal dari ibu yang lain. Dan kenyataan memang banyak
menunjukkan bahwa seorang suami terkadang cenderung untuk lebih mencintai anak-
anaknya dari ister yang dicintainya pula.
Jika kondisi demikian terjadi, maka kerusakan rumah
tangga sudah jelas menyimpang dari pada hakekat dan tujuuan perkawinan, yang
salah satu di antaranya adalah untuk menjalin rasa cinta dan kasih sayang di
antara suami dan isteri.
Adapun poligami yang diperbolehkan dalam syari’at
Islam adalah merupakan suatu alternatif
yang mulia dan agung bagi manusia, yang mengalami suasana dan kondisi
tertentu untuk berpoligami. Kondisi yang dimaksudkan seperti jika sang isteri
terkena penyakit kronis,dan tidak dapat memberi keturunan, yang
menyebabkan ia tidak dapat lagi
menjalankan perannya sebagai seorang isteri.[2]
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Makna poligami
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani dari kata
poly atau polus yang berarti banyak, dan gamein atau gamos yang berarti kawin
atau perkawinan. Jadi secara bahasa poligami berarti ”suatu perkawinan yang
banyak” atau “suatu perkawinan lebih dari seorang”. Dalam pengertian umum yang
berlaku di masyarakat kita sekarang ini,poligami diartikan seorang laki-laki
kawin dengan banyak wanita.[3]
Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktik
pernikahan kepada lebih dari satusuami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin
orang bersangkutan). Hal ini berlawanan denganpraktik monogami yang hanya
memiliki satu suami atau istri.
Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu poligini
(seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus), poliandri (seorang wanita
memiliki beberapa suami sekaligus), dan pernikahan kelompok (bahasa Inggris:
group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri). Ketiga bentuk poligami
tersebut ditemukan dalam sejarah, namum poligini merupakan bentuk yang paling
umum terjadi.[4]
Walaupun diperbolehkan dalam beberapa kebudayaan,
poligami ditentang oleh sebagian kalangan. Terutama kaum feminis menentang
poligini, karena mereka menganggap poligini sebagai bentuk penindasan kepada
kaum wanita.
Poligami merupakan suatu hal yang amat tidak
disenangi oleh satu pihak yaitu isteri, karena hal tersebut bagaikan pintu
darurat demi mengatasi suatu masalah
yang krisis. Terjadinya poligami tanpa memikirkan efek yang akan terjadi bukan
saja menyakitkan bagi pihak isteri,tapi yang terutama dampaknya terhadap anak
dan masyarakat.
Adapun maksud dari perkawinan itu untuk mencapai
kebahagiaan dan kerukunan hati masing- masing, tentunya kebahagiaan itutidak
akan tercapai jika tidak saling memahami. Oleh karena itu Islam tidak mengikat
mati perkawinan, tetapi tidak mempermudah poligami. Itupun dapat dilakukan
sebagai tindakan yang terakhir sebelum terjadinya perceraian dan jika
memperoleh izin dari pegadaian.
Poligami itu dianggap sebagi suatu bencana, akan
tetapi pada waktu- waktu tertentu hal tersebut dapat menjadi bencana yang
diperlukan. Dengan demikian, sang suami betul- betul harus mempertimbangkan
sematang- matangnya sebelum menempuh jalan tersebut, karena hal tersebut
menyangkut tentang kebahagiaan rumah tangga dan dapat memberiakan dampak
nterhadap kehidupan anak- anak mereka. Dan secara otomatis juga dapat
menimbulkan dampak terhadap masyarakat.
Kenyataan bahwa poligami seringkali dianggap sebagai
hampir seluruh wanita sebagai penindasan adalah sebuah pendapat yang jelas
keliru. Poligami adalah suatu kewajaran dan diperbolehkan oleh agama (Islam).
Hendaknya kaum wanita menyadari dengan sepenuhnya bahwa poligami adalah hak
seorang pria dan merupakan ibadah yang jelas jelas lebih bermanfaat bagi
perkembangan jumlah ummat manusia di kemudian hari. Penentangan terhadap
poligami jelas jelas merupakan penentangan terhadap takdir hidup manusia.
Poligami adalah sebuah keputusan terhormat dari seorang laki-laki yang ingin
bertanggung jawab terhadap seorang perempuan lainnya dengan cara terhhormat
pula, yaitu menikah secara syah menurut hukum agama.[5]
2.2 Hukum Mengenai
Poligami Menurut Islam dan di Indonesia
Sesuai
dengan undang-undang No. 1 Tahun 1974 prinsip perkawinan adalah monogami. Dalam
bukunya yang berjudul The Second Messege of Islami, Mohammed Thaha mengatakan
bahwa didalam Islam prinsip murninya adalah perkawinan dilakukan oleh satu
laki-laki dengan satu perempuan tanpa adanya perceraian. Larangan adanya
berpoligami tercantum pada QS. An-Nisa ayat 129.
وَلَنْ
تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا
كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ
اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil
di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena
itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. [An-Nisa: 129]
Meskipun Islam membolehkan berpoligami, namun tidak
berarti Islam memberikan dispensasi itu secara bebas kepada setiap pria. Dalam
hal ini ada aturan-aturan dan ketentuan yang harus dipatuhi oleh mereka yang
akan melakukan poligami seperti tersebut dalma kitab-kitab Fiqh. Di Indonesia,
ketentuan tentang poligami ini diatur oleh Undang-undang No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan khususnya bab 1 pasal 3 sampai dengan pasal 5 dan peraturan
pemerintah tentang pelaksanaannya termaktub dalam Peraturan pemerintah No. 9 tahun
1975, bab VII, pasal 40 sampai dengan pasal 44, yang mana kesemuanya itu
mengacu pada tujuan menjaga kehormatan wanita agar tidak terjadi adanya
tindakan diluar ketentuan hukum, dengan jelas bahwa didalam pasal 3
Undang-undang Perkawinan tahun 1974 termaktub dengan bunyi:
“Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria
hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh memiliki
seorang suami.”
Ungkapan ini tidak jauh dari pemahaman al-Qur’an.
Artinya, prinsip dasar dalam sistem perkawinan Islam itu adalah beristri satu
(monogami).[6]
Pasal dalam undang-undang yang menerangkan tentang
poligami yaitu:
a. Pasal
40
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri
lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis ke Pengadilan
(Pengadilan Agama/Pengadilan Negeri).
b. Pasal
41
Pengadilan selanjutnya berkewajiban memeriksa
mengenai beberapa hal yang terkait dengan pemberian izin bagi suami untuk
menikah lagi (poligami), hal-hal antara lain:
1. Ada tidaknya alasan yang memungkinkan
seorang suami kawin lagi, ialah:
- bahwa isteri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai isteri;
- bahwa isteri mendapat cacat badan
atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
-
bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
2. Ada atau tidaknya persetujuan dari
isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu
merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan Sidang
Pengadilan.
3. Ada atau tidak adanya kemampuan suami
untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- Surat keterangan mengenai penghasilan
suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat kerja atau
-
Surat keterangan pajak penghasilan
-
Surat keteranagan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
4. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami
akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan
atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
c. Pasal
42
1. Dalam melakukan pemeriksaan mengenai
hal-hal pada pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri
yang bersangkutan.
2. Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan
oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat
permohonan beserta lampiran-lampirannya.
d. Pasal
43
Apabila
pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon (suami) untuk beristeri
lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin
untuk beristeri lebih dari seorang.
e. Pasal
44
Pegawai
pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan
beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan seperti yang
dimaksud dalam pasal 43.
Bagi Pegawai
Negeri Sipil (PNS) disamping berlaku ketentuan yang tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, juga berlaku Peraturan Pemerintah (PP) 10
tahun 1983 dan PP 45 tahun 1990. Kedua PP ini pada prinsipnya hampir sama
dengan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Perkawinan. Hanya saja kedua
PP ini menitik beratkan pentingnya ijin atasan untuk melakukan poligami. Baru
kemudian yang bersangkutan menempuh proses yang sesuai ketentuan Undang-Undang
Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya. Kedua PP ini dilengkapi dengan janji
sanksi terhadap PNS yang tidak melaksanakan ketentuan tersebut.
Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di
Indonesia yang mengakomudasi dari hukum fiqh Islam yang bisa dipakai oleh umat
Islam Indonesia, disebutkan pada pasal 55 ayat (2) dan (3):
2.) Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami
harus mampu berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anaknya.
3.) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2)
tidak mungkin dipenuhi, suami
dilarang beristeri lebih dari seorang.[7]
2.3 Dalil Poligami
Perlu kita ketahui bersama sebuah kaidah dalam agama
kita bahwa ketika Allah subhanahu wa ta’ala mensyariatkan sesuatu, maka syariat
yang Allah turunkan tersebut memiliki maslahat yang murni ataupun maslahat yang
lebih besar. Sebaliknya, ketika Allah melarang sesuatu maka larangan tersebut
pasti memiliki bahaya yang murni maupun bahaya yang lebih besar.
Allah berfirman,
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ
وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاء ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ
وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An Nahl: 90)
Sebagai contoh Allah subhanahu wa ta’ala
memerintahkan kita untuk bertauhid yang mengandung maslahat yang murni dan
tidak memiliki mudarat sama sekali bagi seorang hamba. Demikian pula, Allah
subhanahu wa ta’ala melarang perbuatan syirik yang mengandung keburukan dan
sama sekali tidak bermanfaat bagi seorang hamba. Allah subhanahu wa ta’ala
mensyariatkan jihad dengan berperang, walaupun di dalamnya terdapat mudarat
bagi manusia berupa rasa susah dan payah, namun di balik syariat tersebut
terdapat manfaat yang besar ketika seorang berjihad dan berperang dengan ikhlas
yaitu tegaknya kalimat Allah dan tersebarnya agama Islam di muka bumi yang pada
hakikatnya, ini adalah kebaikan bagi seluruh hamba Allah.
Allah berfirman,
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ
كُرْهٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى
أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ
تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang
itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal
ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia
amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al
Baqarah: 216)
Demikian pula, Allah subhanahu wa ta’ala
mengharamkan judi dan minuman keras, walaupun di dalam judi dan minuman keras
tersebut terdapat manfaat yang bisa diambil seperti mendapatkan penghasilan
dari judi atau menghangatkan badan dengan khamar/minuman keras. Namun mudarat
yang ditimbulkan oleh keduanya berupa timbulnya permusuhan di antara manusia
dan jatuhnya mereka dalam perbuatan maksiat lainnya jauh lebih besar
dibandingkan manfaat yang didapatkan.
Allah berfirman,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ
وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا
أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.
Katakanlah: Pada keduanya terdapat keburukan yang besar dan beberapa manfaat
bagi manusia, tetapi keburukan keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS. Al
Baqarah: 219)
Setelah kita memahami kaidah tersebut, maka kita
bisa menerapkan kaidah tersebut pada syariat poligami yang telah Allah
perbolehkan. Tentu di dalamnya terdapat manfaat yang sangat besar walaupun ada
beberapa mudarat yang ditimbulkan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan
manfaat yang diperoleh dengan syariat tersebut. Sebagai contoh misalnya:
terkadang terjadi kasus saling cemburu di antara para istri karena beberapa
permasalahan, maka hal ini adalah mudarat yang ditimbulkan dari praktek
poligami. Namun, manfaat yang didapatkan dengan berpoligami untuk kaum muslimin
berupa bertambahnya banyaknya jumlah kaum muslimin dan terjaganya kehormatan
wanita-wanita muslimah baik yang belum menikah maupun para janda merupakan
kebaikan dan maslahat yang sangat besar bagi kaum muslimin. Oleh karena itu,
jika kita melihat kebanyakan orang-orang yang menentang syariat poligami adalah
orang-orang yang lemah pembelaannya terhadap syariat Islam bahkan terkadang
melecehkan syariat Islam. Pemikiran mereka terpengaruh dengan pemikiran
orang-orang kafir yang jelas-jelas tidak menghendaki kebaikan bagi kaum
muslimin.
Bolehnya melakukan poligami dalam Islam berdasarkan
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ
فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ
وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka
nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An Nisaa: 3)
Bolehnya syariat poligami ini juga dikuatkan dengan
perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perbuatan para sahabat
sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sabda Rasulullah SAW :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ
سَلَمَةَ الثَّقَفِيَّ أَسْلَمَ وَلَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَأَسْلَمْنَ
مَعَهُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَخَيَّرَ
أَرْبَعًا مِنْهُنَّ . ( رواه ترميدي
)
Dari ibnu Umar, bahwa Ghailan bin Salamah
Ats-Tsaqafi masuk Islam, sedangkan ia mempunyai sepuluh orang istri pada zaman
jahiliyah, lalu mereka juga masuk Islam bersamanya, kemudian Nabi SAW
memerintahkan Ghailan untuk memilih (mempertahankan) empat diantara mereka.
(HR. Tirmidzi). [8]
2.4 Syarat Syarat
Poligami Dalam Islam
Poligami adalah salah satu di antara syariat Islam.
Poligami juga adalah syariat yang banyak juga ditentang di antara kaum
muslimin. Yang katanya merugikan wanita, menurut mereka yang memegang kaedah
emansipasi perempuan.
Namun poligami sendiri bukanlah seperti yang mereka
pikirkan. Para ulama menilai hukum poligami dengan hukum yang berbeda-beda.
Salah satunya adalah Syaikh Mustafa Al-Adawiy. Beliau menyebutkan bahwa hukum
poligami adalah sunnah. Dalam kitabnya ahkamun nikah waz zafaf, beliau
mempersyaratkan 4 hal:
1. Seorang yang mampu berbuat adil
Seorang pelaku poligami, harus memiliki sikap adil
di antara para istrinya. Tidak boleh ia condong kepada salah satu istrinya. Hal
ini akan mengakibatkan kezhaliman kepada istri-istrinya yang lain. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Siapa saja orangnya yang
memiliki dua istri lalu lebih cenderung kepada salah satunya, pada hari kiamat
kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya miring.” (HR. Abu Dawud,
An-Nasa-i, At-Tirmidzi)
Selain adil, ia juga harus seorang yang tegas.
Karena boleh jadi salah satu istrinya merayunya agar ia tetap bermalam di
rumahnya, padahal malam itu adalah jatah bermalam di tempat istri yang lain.
Maka ia harus tegas menolak rayuan salah satu istrinya untuk tetap bermalam di
rumahnya.
Jadi, jika ia tak mampu melakukan hal itu, maka
cukup satu istri saja. Allah Ta’ala berfirman
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ
فَوَاحِدَةً
(yang artinya), “…kemudian jika kamu khawatir tidak
mampu berbuat adil, maka nikahilah satu orang saja…” (QS. An-Nisa: 3)
2. Aman dari kelalaian beribadah kepada Allah
Seorang yang melakukan poligami, harusnya ia
bertambah ketakwaannya kepada Allah, dan rajin dalam beribadah. Namun ketika
setelah ia melaksanakan syariat tersebut, tapi malah lalai beribadah, maka
poligami menjadi fitnah baginya. Dan ia bukanlah orang yang pantas dalam
melakukan poligami.
Allah Ta’ala berfirman
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ
إِنَّ مِنۡ أَزۡوَٲجِكُمۡ وَأَوۡلَـٰدِڪُمۡ عَدُوًّ۬ا لَّڪُمۡ فَٱحۡذَرُوهُمۡۚ وَإِن
تَعۡفُواْ وَتَصۡفَحُواْ وَتَغۡفِرُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ۬ رَّحِيمٌ
(yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh
bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (QS. At-Taghabun: 14)
3. Mampu menjaga para istrinya
Sudah menjadi kewajiban bagi suami untuk menjaga
istrinya. Sehingga istrinya terjaga agama dan kehormatannya. Ketika seseorang
berpoligami, otomatis perempuan yang ia jaga tidak hanya satu, namun lebih dari
satu. Ia harus dapat menjaga para istrinya agar tidak terjerumus dalam
keburukan dan kerusakan.
Misalnya seorang yang memiliki tiga orang istri,
namun ia hanya mampu memenuhi kebutuhan biologis untuk dua orang istrinya saja.
Sehingga ia menelantarkan istrinya yang lain. Dan hal ini adalah sebuah kezhaliman
terhadap hak istri. Dampak yang paling parah terjadi, istrinya akan mencari
kepuasan kepada selain suaminya, alias berzina. Wal iyyadzubillah!
Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
(yang artinya), “Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang memiliki
kemapuan untuk menikah, maka menikahlah…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
4. Mampu memberi nafkah lahir
Hal ini sangat jelas, karena seorang yang
berpoligami, wajib mencukupi kebutuhan nafkah lahir para istrinya. Bagaimana ia
ingin berpoligami, sementara nafkah untuk satu orang istri saja belum cukup?
Orang semacam ini sangat berhak untuk dilarang berpoligami.
Allah Ta’ala berfirman
لْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ
نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
(yang artinya), “Dan orang-orang yang tidak mampu
menikah, hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sampai Allah memberikan
kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya…” (QS. An-Nur: 33)
Demikian tulisan singkat tentang poligami. Poligami
adalah syariat mulia yang bisa bernilai ibadah. Namun untuk melaksanakan
syariat tersebut membutuhkan ilmu, dan terpenuhi syarat-syaratnya. Jika anda
merasa tidak mampu memenuhi 4 syarat di atas, maka jangan coba-coba untuk
berpoligami.[9]
2.5 Pendapat Ulama
Tentang Poligami
Sebagian besar ulama klasik dan pertengahan
memperbolehkan adanya praktek berpoligami. Namun poligami boleh dilakukan jika
memenuhi syarat-syarat berpoligami. Syarat-syarat tersebut antara lain,
laki-laki hanya diperbolehkan menikahi empat perempuan dan harus bisa berlaku
adil
Pengarang kitab al-Umm, yaitu al-Syafi’I berpendapat
bahwa Hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Umar tentang Gailan bin Salamah
al-Saqafi, seorang sahabat nabi yang masuk Islam dengan membawa sepuluh
istrinya, kemudian diperintahkan oleh Nabi untuk memilih empat dari mereka
adalah sebagai dalil akan kebolehan poligami. Bilangan empat yang dimaksud
adalah sebagai batas maksimal bagi seorang yang ingin melakukan poligami. Dapat
dikatakan bahwa Al-Syafi’I memperbolehkan praktek poligami dengan catatan harus
memenuhi persyaratannya, yaitu mampu berbuat adil kepada para istrinya dan
batasan empat perempuan. Jika lebih dari empat maka dianggap haram.
Menurut beliau yang dimaksud dengan bersifat adil
yaitu adil secara materi (seperti pembagian malam, nafkah, mewarisi) atau
fisik. Sedangkan keadilan dalam hal hati (cinta) sulit dilakukan karena hanya
Allah yang mengetahuinya. Sehingga seseorang yang melakukan poligami sulit
dalam membagi hatinya kepada istri-istrinya
Dalam kitab al-Muwatta’, Imam Malik mengatakan bahwa
orang yang melakukan poligami hanya diperbolehkan sebanyak empat istri dan ini
berlaku bagi suami yang merdeka. Ahmad bin Hanbal menyebutkan batas maksimal
seorang laki-laki nerpoligami hanyalah empat istri dan harus diikuti dengan
sikap adil, seperti pembagian giliran terhadap istri-istri sehingga tidak diperbolehkan condong pada
salah satu istri. Dengan mengutip pada QS. Al-Nisa’ ayat 129, Ahmad bin Hambal
mengatakan bahwa keadilan yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah keadilan
dalam hati, sehingga dalam ayat itu, Allah menyatakan kemustahilannya kepada
manusia untuk membagi hatinya secara adil.
Dengan mengutip beberapa pendapat dari beberapa
ulama (Abu Hanifah, Muzhar ibnu al-Hamam), al-Dahlawi mengatakan bahwa Hadis yang
berisi mengenai sahabat Gailan bin Salamah merupakan dasar diperbolehkannya
berpoligami namun dengan batasan empat orang istri.
Pengarang kitab ‘Aun al-Ma’bud (kitab syarah Sunan
Abu dawud) juga mengatakan bahwa jika beristri lebih dari emapat hukumya tidak
boleh. Hal ini disebabkan karena Nabi menyuruh Gailan bin Salamah untuk
mempertahankan empat istri dari sepuluh istrinya.
Didalam kitab Fath al-Bari, Al-Bagawi menafsirkan
QS. An-Nisa ayat 3. Dimana beliau membatah para ulama yang menafsirkan ayat tersebut
secara keliru. Para ulama menafsirkan huruf wau pada kalimat masna wa sulasa wa
ruba’a merupakan jumlah, sehingga 2+3+4=9. Sehingga dapat dikatakan bahwa
seseorang boleh menikahi istri sebanyak Sembilan orang. Sama seperti jumlah
istri Nabi sebanyak sembilan.
Sedangkan Al-Asqalani berpendapat bahwa wau tersebut
artinya adalah au (atau), sehingga
pengertian wau bukanlah jumlah tetapi atau. Jika Nabi memiliki sembilan istri
beliau berpendapat bahwa hal tersebut merupakan hal yang khusus bagi Nabi.
Dari sekian banyak pendapat para ulama klasik,
mereka cenderung memperbolehkan suami untuk berpoligami dengan batasan empat
orang istri dan harus mampu bersikap adil. Mereka juga berpendapat mengenai hal
keadilan, menurut mereka keadilan yang dimaksud adalah keadilan materi
sedangkan keadilan dalam bentuk kasih sayang atau cinta hanya Allah saja yang
mengetahuinya.[10]
2.6 Alasan Dan Manfaat
Poligami
1. Kebebasan
individual: setiap orang bebas dan bertanggungjawab untuk menentukan pasangan
hidupnya sendiri, entah jumlah pasangannya nol, satu, dua atau pun tiga.
2. Cinta;
kalau seorang pria jatuh cinta pada seorang perempuan dan demikian juga
sebaliknya, maka pasangan ini berhak untuk kawin kendatipun ini bukan
perkawinan pertama mereka dan juga bukan dengan pasangan pertama.
3. Ekonomis:
kalau seorang laki-laki bisa menghidupi ekonomi sekian istri dengan semua anak
mereka, ia memiliki modal ekonomi kuat untuk berpoligami.
4. Dukungan
psikologis: jika istri-istri tua rela menerima kehadiran istri-istri muda, si
suami tidak mengalami kendala internal untuk ia berpoligami.
5. Berpoligami
bukanlah tindakan kriminal (sekalipun ada UU Perkawinan), apalagi jika poligami
dilakukan karena alasan cinta.
6. Poligami
tidak otomatis akan membuahkan ketidakadilan gender, jika si suami
sungguh-sungguh dapat memperlakukan semua istrinya dengan respek, cinta dan
keadilan.
7. Poligami
tidak otomatis menghina dan merendahkan kaum perempuan, malah bisa terjadi hal
sebaliknya.
8. Poligami
tidak otomatis menodai atau merendahkan agama apapun, sejauh orang yang
berpoligami tetap bisa menjalankan ibadahnya dengan setia.
9. Poligami
paralel dengan tindakan membentuk masyarakat yang jumlah anggotanya lebih
besar.
10.
Poligami adalah
seni yang lebih advanced membangun rumah tangga; dan tidak ada satu karya senipun
yang harus dimusuhi.[11]
2.7 Dampak Poligami
1. Timbul
perasaan dalam diri menyalahkan diri sendiri, istri merasa tindakan suaminya
berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan
biologis suaminya.
2. Ketergantungan
secara ekonomi kepada suami. Ada beberapa suami memang dapat berlaku adil
terhadap istri-istrinya. Tetapi seringkali pula dalam prakteknya, suami lebih
mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu.
Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi
kebutuhan sehari-hari.
3. Hal
lain yang terjadi akibat adanya poligami adalah sering terjadinya kekerasan
terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis.[12]
4. Selain
itu, dengan adanya poligami, dalam masyarakat sering terjadi nikah di bawah
tangan, yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan pada kantor pencatatan nikah
(Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama). Perkawinan yang tidak
dicatatkan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah
menurut agama. Bila ini terjadi, maka yang dirugikan adalah pihak perempuannya
karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi oleh negara. Ini
berarti bahwa segala konsekwensinya juga dianggap tidak ada, seperti hak waris
dan sebagainya.
5. Para
suami bebas berselingkuh, berpindah ke lain hati. Jika jatuh cinta lagi ke pada
WIL (Wanita Idaman Lain) bisa dikawini. Jika sudah bosan dengan istri pertama,
cari istri kedua dst. Akhirnya terjadi penurunan moral suami, keluarga yang berantakan,
penurunan kesejahteraan keluarga.
6. Para
muslim berlomba-lomba cari istri tambahan, kawin lagi.
7. Karena
terinspirasi contoh nabi dan para tokoh ulama (Aa Gymm, Hamzah Haz, Rhoma,
dst.) yang berpoligami, para muslim
berangan-angan cari wanita lain yang lebih dari istri sebelumnya[13]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Persoalan poligami adalah persoalan budaya yang ada
sejak ribuan tahun sebelum Islam. Al Qur’an diturunkan pada saat budaya
poligami sangat mengakar, sehingga yang diperlukan saat itu adalah pembatasan
dan kritik terhadap perilaku poligami yang menyimpang. Bisa dinyatakan bahwa
poligami tidak ada kaitannya dengan keberagamaan seseorang, keimanan, ketakwaan
dan ketaatannya kepada Allah Swt. Justru yang terkait dengan keIslaman dan keimanan
adalah sejauh mana setiap orang bisa berbuat baik terhadap orant-orangterlantar
dan yang dipinggirkan serta mereka yang menjadi korban kekerasan struktur
sosial. Seperti yang diwasiatkan Nabi Saw pada saat haji Wada’, semua orang
diharuskan berbuat baik terhadap perempuan, menghargai dan mengagungkan mereka.
Persoalan apakah monogami atau poligami yang lebih memartabatkan perempuan,
selayaknya diserahkan kepada nurani para perempuan.
Diantara sebab yang membolehkan poligami antara lain
:
a) Istri
tidak dapat melahirkan keturunan, sementara suami sangat menghendakinya.
b) Banyak
wanita yang tidak menikah karena jumlah wanita lebih banyak daripada laki-laki.
c) Wanita
janda yangditinggal wafat suaminya, sedang ia perlu sekali
mendapatkanpertolongan, baik untuk dirinya maupun anak-anaknya yang telah
menjadi yatim dan tidak dapat ditempuh dengan jalan lain kecuali dengan
menikahinya.
d) Istri
yang sudah diceraikan perlu (ingin) rujuk atau kembali menikah padahal suaminya
sudah menikah dengan orang lain.
e) Seorang
pria yang sudah beristri jatuh cinta kepada wanita lain yang tidak dapat
dihindarinya, kalau tidak dinikahinya khawatir terjerumus kepada perzinaan.
f) Sebab
lain yang menurut pertimbangan yang masak bahwa poligami merupakan satu-satunya
jalan yang halal dan dapat ditempuh
DAFTAR PUSTAKA
1. Faridl,
Miftah, KH., 150 Masalah Nikah &
Keluarga, Jakarta, Gema Insani, 1999
2. Azhar
Basyir, Ahmad, MA, KH., Hukum Perkawinan
Islam, (Cet. XI, Yogyakarta, UII Press, 2007)
3. Ibnu
Majah, Sunan Ibnu Mājah : Hadīts Nomor
1859, JUZ VI, Beirut : Dar al-Fikri,
1415/1995
4.
At-Tirmidzi,
Sunan At-Tirmidzi, juz IV, Beirut, Dar al-Fikri, 1995
5.
http://www.masbied.com/search/macam-macam-dampak-dari-poligami
(Saturday, March 24, 2013;5:42 AM)
6.
Amiur Nuruddin
dan Azhari akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Cet. 2; Jakarta,
Prenada Media, 2004)
7.
Titik Triwulan
Trutik dan Trianto, Poligami Perspektif Perikatan Nikah (Cet. 1; Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2007)
8.
Asep Nurdin,
Hadis-hadis Tentang Poligami (Studi Pemahaman Hadis Berprespektif Jender,
(Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2003)
[1] Faridl,
Miftah, KH., 150 Masalah Nikah &
Keluarga, Jakarta, Gema Insani, 1999
[2] Faridl,
Miftah, KH., 150 Masalah Nikah &
Keluarga, Jakarta : Gema Insani, 1999
[3] http://www.masbied.com/search/macam-macam-dampak-dari-poligami
[4] Faridl,
Miftah, KH., 150 Masalah Nikah &
Keluarga, Jakarta : Gema Insani, 1999
[5] AmiurNuruddin
dan Azhari akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Cet. 2; Jakarta,
Prenada Media, 2004) h. 156.
[6] Amiur
Nuruddin dan Azhari akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Cet. 2;
Jakarta, Prenada Media, 2004)
[7] Amiur
Nuruddin dan Azhari akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Cet. 2;
Jakarta, Prenada Media, 2004)
[8] Asep
Nurdin, Hadis-hadis Tentang Poligami (Studi Pemahaman Hadis Berprespektif
Jender, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2003), hlm. 70
[9] Asep
Nurdin, Hadis-hadis Tentang Poligami (Studi Pemahaman Hadis Berprespektif
Jender, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2003), hlm. 89
[10] Asep
Nurdin, Hadis-hadis Tentang Poligami (Studi Pemahaman Hadis Berprespektif
Jender, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2003), hlm. 97
[11] Azhar
Basyir, Ahmad, MA, KH., Hukum Perkawinan
Islam, (Cet. XI, Yogyakarta, UII Press, 2007) hlm 76
[12] Titik
Triwulan Trutik dan Trianto, Poligami Perspektif Perikatan Nikah (Cet. 1;
Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007)
[13] Azhar
Basyir, Ahmad, MA, KH., Hukum Perkawinan
Islam, (Cet. XI, Yogyakarta, UII Press, 2007) hlm 79
Tidak ada komentar:
Posting Komentar