Total Tayangan Halaman

Minggu, 28 Juli 2013

Menyoal Masalah dan Manfaat Poligami

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Islam adalah agama fitrah, agama yang sejalan dengan tuntutan watak dan sifat pembawaan kejadian manusia. Oleh karena itu, Islam memperhatikan kenyataan-kenyataan manusiawi, kemudian mengaturnya agar sesuai dengan nilai-nilai keutamaan. Pengaruh iklim membawakan perbedaan-perbedaan dalam kenyataan hidup manusia. Tiap-tiap individu mempunyai pembawaan yang mungkin berbeda dengan individu yang lain. Keadaan sosial dalam suatu masyarakat pada masa terterntu mengalami problem-problem yang minta pemecahan.

Sebenarnya tujuan dari peraturan tentang poligami dalam Islam itu diantaranya ialah untuk menyelamatkan dan menolong kaum wanita, sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah SAW terhadap istri-istri beliau. Al-Qur’an surat An-Nisa’ (4) : 3 berfungsi memberikan batasan serta syarat yang ketat, yaitu batasan maksimal empat istri dengan ketentuan mesti berlaku adil. Artinya tidak boleh ada anggapan bahwa Al-Qur’an mendorong poligami, tetapi justru memberikan jalan keluar apabila dalam suatu keadaan terpaksa seorang harus memilih antara perzinahan dan poligami, atau antara membiarkan wanita terlantar dan sengsara tak bisa nikah dan menjadi istri kedua. [1]

Pembacaan terhadap dasar nash maupun hadits berkenaan dengan masalah ini hendaknya dilakukan secara utuh. Untuk menentukan seatu hukum atas boleh atau tidaknya poligami harus mengkaji semua ayat maupun hadits yang brkenaan dengannya dengan selektif  dan penafsiran yang memperhatikan berbagai persepektif, baik secara tetkstual maupun kontektual. Untuk mengambil suatu kesimpulan hukum tidak bisa dilakukan secara parsial atau setengah-setengah dalam pembacaannya. Karena itu makalah ini, penulis mencoba memaparkan beberapa hadits mengenai masalah poligami yang penulis uraikan berangkat dari pemahaman teks yang biasa dijadikan rujukan bagi orang-orang yang pro dan kontra poligami. Dan posisi penulis dalam masalah ini adalah sebagai penengah.

Poligami merupakan salah satu persoalan dalam perkawinan yang paling banyak dibicarakan sekaligus kontorversial. Satu sisi poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan gender. Bahkan para penulis barat sering mengklaim bahwa poligami adalah bukti bahwa ajaran Islam dalam bidang perkawinan sangat deskriminatif terhadap perempuan . pada sisi lain, poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normatif yang tegas dan dipandang sebagai salah satu alternatif  untuk menyelesaikan perselingkuhan.

Wacana mengenai poligami kembali menjadi issu sentral disetiap kondisi, waktu dan tempat. Tidak saja pada lingkup akademisi, lembaga pengajian, pondok pesantren, cermah di masjid tetapi juga di warung-warung kopi, pangkalan ojek ataupun kerumunan ibu-ibu dan bapak-bapak. Kasus poligami da’i Selebritis, kondang dan menjadi idola para wanita KH. Abdullah Gymnastiar yang lebih terkenal dengan sebutan Aa’ Gym telah menguak kembali polemic lama mengenai eksistensi poligami dalam Islam.

Pada prinsipnya hukum Islam dan hukum positif di Indonesia menghendaki adanya azas monogamy dalam perkawinan. Akan tetapi dalam kondisi tertentu, baik hukum islam maupun hukum positif di Indonesia tetap membolehkan adanya poligami (beristeri lebih seorang).

Azas monogami diberlakukan untuk menjaga kemungkinan- kemungkinan yang timbul sebagai akibat dari poligami itu sendiri, sehingga dengan demikian poligami hanya diperbolehkan jika kondisi sangat menuntut. Dan poligami pun merupakan pintu darurat yang hanya diperbolehkan bagi orang- orang yang memang sangat membutuhkannya. Di samping hal tersebut, poligami hanya diizinkan dengan memperhatikan syarat yakni dapat dipercaya bahwa orang yang melakukan poligami tersebut benar- benar dapat menegakkan keadilan dan aman dari suatu perbuatan yang melampaui batas. Jadi tidak semua pria boleh melaksanakan poligami.

Banyak fakta yang dapat dilihat dalam kehidupan, bahwa poligami banyak menimbulkan akibat- akibat yang kurang baik bagi kelangsungan rumah tangga. Misalnya saja dua orang yang dimadu, senantiasa membujuk anaknya masing- masing untuk saling memusuhi saudaranya dari ibu yang lain. Dalam hal yang lain dapat pula terjadi seorang isteri akan senantiasa mempengaruhi suaminya agar hanya mencintai anak- anaknya dari pada anak- anaknya yang berasal dari ibu yang lain. Dan kenyataan memang banyak menunjukkan bahwa seorang suami terkadang cenderung untuk lebih mencintai anak- anaknya dari ister yang dicintainya pula.

Jika kondisi demikian terjadi, maka kerusakan rumah tangga sudah jelas menyimpang dari pada hakekat dan tujuuan perkawinan, yang salah satu di antaranya adalah untuk menjalin rasa cinta dan kasih sayang di antara suami dan isteri.

Adapun poligami yang diperbolehkan dalam syari’at Islam adalah merupakan suatu alternatif  yang mulia dan agung bagi manusia, yang mengalami suasana dan kondisi tertentu untuk berpoligami. Kondisi yang dimaksudkan seperti jika sang isteri terkena penyakit kronis,dan tidak dapat memberi keturunan, yang menyebabkan  ia tidak dapat lagi menjalankan perannya sebagai seorang isteri.[2]












BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Makna poligami

Kata poligami berasal dari bahasa Yunani dari kata poly atau polus yang berarti banyak, dan gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Jadi secara bahasa poligami berarti ”suatu perkawinan yang banyak” atau “suatu perkawinan lebih dari seorang”. Dalam pengertian umum yang berlaku di masyarakat kita sekarang ini,poligami diartikan seorang laki-laki kawin dengan banyak wanita.[3]

Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satusuami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan). Hal ini berlawanan denganpraktik monogami yang hanya memiliki satu suami atau istri.

Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu poligini (seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus), poliandri (seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus), dan pernikahan kelompok (bahasa Inggris: group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri). Ketiga bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, namum poligini merupakan bentuk yang paling umum terjadi.[4]

Walaupun diperbolehkan dalam beberapa kebudayaan, poligami ditentang oleh sebagian kalangan. Terutama kaum feminis menentang poligini, karena mereka menganggap poligini sebagai bentuk penindasan kepada kaum wanita.

Poligami merupakan suatu hal yang amat tidak disenangi oleh satu pihak yaitu isteri, karena hal tersebut bagaikan pintu darurat demi mengatasi  suatu masalah yang krisis. Terjadinya poligami tanpa memikirkan efek yang akan terjadi bukan saja menyakitkan bagi pihak isteri,tapi yang terutama dampaknya terhadap anak dan masyarakat.

Adapun maksud dari perkawinan itu untuk mencapai kebahagiaan dan kerukunan hati masing- masing, tentunya kebahagiaan itutidak akan tercapai jika tidak saling memahami. Oleh karena itu Islam tidak mengikat mati perkawinan, tetapi tidak mempermudah poligami. Itupun dapat dilakukan sebagai tindakan yang terakhir sebelum terjadinya perceraian dan jika memperoleh izin dari pegadaian.

Poligami itu dianggap sebagi suatu bencana, akan tetapi pada waktu- waktu tertentu hal tersebut dapat menjadi bencana yang diperlukan. Dengan demikian, sang suami betul- betul harus mempertimbangkan sematang- matangnya sebelum menempuh jalan tersebut, karena hal tersebut menyangkut tentang kebahagiaan rumah tangga dan dapat memberiakan dampak nterhadap kehidupan anak- anak mereka. Dan secara otomatis juga dapat menimbulkan dampak terhadap masyarakat.

Kenyataan bahwa poligami seringkali dianggap sebagai hampir seluruh wanita sebagai penindasan adalah sebuah pendapat yang jelas keliru. Poligami adalah suatu kewajaran dan diperbolehkan oleh agama (Islam). Hendaknya kaum wanita menyadari dengan sepenuhnya bahwa poligami adalah hak seorang pria dan merupakan ibadah yang jelas jelas lebih bermanfaat bagi perkembangan jumlah ummat manusia di kemudian hari. Penentangan terhadap poligami jelas jelas merupakan penentangan terhadap takdir hidup manusia. Poligami adalah sebuah keputusan terhormat dari seorang laki-laki yang ingin bertanggung jawab terhadap seorang perempuan lainnya dengan cara terhhormat pula, yaitu menikah secara syah menurut hukum agama.[5]


2.2 Hukum Mengenai Poligami Menurut Islam dan di Indonesia

            Sesuai dengan undang-undang No. 1 Tahun 1974 prinsip perkawinan adalah monogami. Dalam bukunya yang berjudul The Second Messege of Islami, Mohammed Thaha mengatakan bahwa didalam Islam prinsip murninya adalah perkawinan dilakukan oleh satu laki-laki dengan satu perempuan tanpa adanya perceraian. Larangan adanya berpoligami tercantum pada QS. An-Nisa ayat 129.

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [An-Nisa: 129]

Meskipun Islam membolehkan berpoligami, namun tidak berarti Islam memberikan dispensasi itu secara bebas kepada setiap pria. Dalam hal ini ada aturan-aturan dan ketentuan yang harus dipatuhi oleh mereka yang akan melakukan poligami seperti tersebut dalma kitab-kitab Fiqh. Di Indonesia, ketentuan tentang poligami ini diatur oleh Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan khususnya bab 1 pasal 3 sampai dengan pasal 5 dan peraturan pemerintah tentang pelaksanaannya termaktub dalam Peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975, bab VII, pasal 40 sampai dengan pasal 44, yang mana kesemuanya itu mengacu pada tujuan menjaga kehormatan wanita agar tidak terjadi adanya tindakan diluar ketentuan hukum, dengan jelas bahwa didalam pasal 3 Undang-undang Perkawinan tahun 1974 termaktub dengan bunyi:
“Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.”
Ungkapan ini tidak jauh dari pemahaman al-Qur’an. Artinya, prinsip dasar dalam sistem perkawinan Islam itu adalah beristri satu (monogami).[6]

Pasal dalam undang-undang yang menerangkan tentang poligami yaitu:
a.       Pasal 40
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis ke Pengadilan (Pengadilan Agama/Pengadilan Negeri).

b.      Pasal 41
Pengadilan selanjutnya berkewajiban memeriksa mengenai beberapa hal yang terkait dengan pemberian izin bagi suami untuk menikah lagi (poligami), hal-hal antara lain:

1.      Ada tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah:
-          bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
-          bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
-          bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

2.      Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan Sidang Pengadilan.
3.      Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
-          Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat kerja  atau
-          Surat keterangan pajak penghasilan
-          Surat keteranagan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.

4.      Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

c.       Pasal 42
1.      Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan.
2.      Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.
d.      Pasal 43
Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon (suami) untuk beristeri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.
e.       Pasal 44
Pegawai pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan seperti yang dimaksud dalam pasal 43.
              
 Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) disamping berlaku ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, juga berlaku Peraturan Pemerintah (PP) 10 tahun 1983 dan PP 45 tahun 1990. Kedua PP ini pada prinsipnya hampir sama dengan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Perkawinan. Hanya saja kedua PP ini menitik beratkan pentingnya ijin atasan untuk melakukan poligami. Baru kemudian yang bersangkutan menempuh proses yang sesuai ketentuan Undang-Undang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya. Kedua PP ini dilengkapi dengan janji sanksi terhadap PNS yang tidak melaksanakan ketentuan tersebut.

Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia yang mengakomudasi dari hukum fiqh Islam yang bisa dipakai oleh umat Islam Indonesia, disebutkan pada pasal 55 ayat (2) dan (3):

2.) Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil    terhadap isteri-isteri dan anaknya.
3.) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami     dilarang beristeri lebih dari seorang.[7]

2.3 Dalil Poligami

Perlu kita ketahui bersama sebuah kaidah dalam agama kita bahwa ketika Allah subhanahu wa ta’ala mensyariatkan sesuatu, maka syariat yang Allah turunkan tersebut memiliki maslahat yang murni ataupun maslahat yang lebih besar. Sebaliknya, ketika Allah melarang sesuatu maka larangan tersebut pasti memiliki bahaya yang murni maupun bahaya yang lebih besar.

Allah berfirman,

إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاء ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An Nahl: 90)

Sebagai contoh Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita untuk bertauhid yang mengandung maslahat yang murni dan tidak memiliki mudarat sama sekali bagi seorang hamba. Demikian pula, Allah subhanahu wa ta’ala melarang perbuatan syirik yang mengandung keburukan dan sama sekali tidak bermanfaat bagi seorang hamba. Allah subhanahu wa ta’ala mensyariatkan jihad dengan berperang, walaupun di dalamnya terdapat mudarat bagi manusia berupa rasa susah dan payah, namun di balik syariat tersebut terdapat manfaat yang besar ketika seorang berjihad dan berperang dengan ikhlas yaitu tegaknya kalimat Allah dan tersebarnya agama Islam di muka bumi yang pada hakikatnya, ini adalah kebaikan bagi seluruh hamba Allah.


Allah berfirman,

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216)

Demikian pula, Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan judi dan minuman keras, walaupun di dalam judi dan minuman keras tersebut terdapat manfaat yang bisa diambil seperti mendapatkan penghasilan dari judi atau menghangatkan badan dengan khamar/minuman keras. Namun mudarat yang ditimbulkan oleh keduanya berupa timbulnya permusuhan di antara manusia dan jatuhnya mereka dalam perbuatan maksiat lainnya jauh lebih besar dibandingkan manfaat yang didapatkan.

Allah berfirman,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: Pada keduanya terdapat keburukan yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi keburukan keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS. Al Baqarah: 219)

Setelah kita memahami kaidah tersebut, maka kita bisa menerapkan kaidah tersebut pada syariat poligami yang telah Allah perbolehkan. Tentu di dalamnya terdapat manfaat yang sangat besar walaupun ada beberapa mudarat yang ditimbulkan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh dengan syariat tersebut. Sebagai contoh misalnya: terkadang terjadi kasus saling cemburu di antara para istri karena beberapa permasalahan, maka hal ini adalah mudarat yang ditimbulkan dari praktek poligami. Namun, manfaat yang didapatkan dengan berpoligami untuk kaum muslimin berupa bertambahnya banyaknya jumlah kaum muslimin dan terjaganya kehormatan wanita-wanita muslimah baik yang belum menikah maupun para janda merupakan kebaikan dan maslahat yang sangat besar bagi kaum muslimin. Oleh karena itu, jika kita melihat kebanyakan orang-orang yang menentang syariat poligami adalah orang-orang yang lemah pembelaannya terhadap syariat Islam bahkan terkadang melecehkan syariat Islam. Pemikiran mereka terpengaruh dengan pemikiran orang-orang kafir yang jelas-jelas tidak menghendaki kebaikan bagi kaum muslimin.

Bolehnya melakukan poligami dalam Islam berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An Nisaa: 3)

Bolehnya syariat poligami ini juga dikuatkan dengan perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perbuatan para sahabat sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sabda Rasulullah SAW :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِيَّ أَسْلَمَ وَلَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَأَسْلَمْنَ مَعَهُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَخَيَّرَ أَرْبَعًا مِنْهُنَّ .  ( رواه ترميدي )

Dari ibnu Umar, bahwa Ghailan bin Salamah Ats-Tsaqafi masuk Islam, sedangkan ia mempunyai sepuluh orang istri pada zaman jahiliyah, lalu mereka juga masuk Islam bersamanya, kemudian Nabi SAW memerintahkan Ghailan untuk memilih (mempertahankan) empat diantara mereka. (HR. Tirmidzi). [8]


2.4 Syarat Syarat Poligami Dalam Islam

Poligami adalah salah satu di antara syariat Islam. Poligami juga adalah syariat yang banyak juga ditentang di antara kaum muslimin. Yang katanya merugikan wanita, menurut mereka yang memegang kaedah emansipasi perempuan.

Namun poligami sendiri bukanlah seperti yang mereka pikirkan. Para ulama menilai hukum poligami dengan hukum yang berbeda-beda. Salah satunya adalah Syaikh Mustafa Al-Adawiy. Beliau menyebutkan bahwa hukum poligami adalah sunnah. Dalam kitabnya ahkamun nikah waz zafaf, beliau mempersyaratkan 4 hal:

1.      Seorang yang mampu berbuat adil

Seorang pelaku poligami, harus memiliki sikap adil di antara para istrinya. Tidak boleh ia condong kepada salah satu istrinya. Hal ini akan mengakibatkan kezhaliman kepada istri-istrinya yang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Siapa saja orangnya yang memiliki dua istri lalu lebih cenderung kepada salah satunya, pada hari kiamat kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya miring.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa-i, At-Tirmidzi)

Selain adil, ia juga harus seorang yang tegas. Karena boleh jadi salah satu istrinya merayunya agar ia tetap bermalam di rumahnya, padahal malam itu adalah jatah bermalam di tempat istri yang lain. Maka ia harus tegas menolak rayuan salah satu istrinya untuk tetap bermalam di rumahnya.

Jadi, jika ia tak mampu melakukan hal itu, maka cukup satu istri saja. Allah Ta’ala berfirman

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً                               
(yang artinya), “…kemudian jika kamu khawatir tidak mampu berbuat adil, maka nikahilah satu orang saja…” (QS. An-Nisa: 3)



2.      Aman dari kelalaian beribadah kepada Allah

Seorang yang melakukan poligami, harusnya ia bertambah ketakwaannya kepada Allah, dan rajin dalam beribadah. Namun ketika setelah ia melaksanakan syariat tersebut, tapi malah lalai beribadah, maka poligami menjadi fitnah baginya. Dan ia bukanlah orang yang pantas dalam melakukan poligami.

Allah Ta’ala berfirman

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّ مِنۡ أَزۡوَٲجِكُمۡ وَأَوۡلَـٰدِڪُمۡ عَدُوًّ۬ا لَّڪُمۡ فَٱحۡذَرُوهُمۡ‌ۚ وَإِن تَعۡفُواْ وَتَصۡفَحُواْ وَتَغۡفِرُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ۬ رَّحِيمٌ
(yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (QS. At-Taghabun: 14)

3.      Mampu menjaga para istrinya

Sudah menjadi kewajiban bagi suami untuk menjaga istrinya. Sehingga istrinya terjaga agama dan kehormatannya. Ketika seseorang berpoligami, otomatis perempuan yang ia jaga tidak hanya satu, namun lebih dari satu. Ia harus dapat menjaga para istrinya agar tidak terjerumus dalam keburukan dan kerusakan.

Misalnya seorang yang memiliki tiga orang istri, namun ia hanya mampu memenuhi kebutuhan biologis untuk dua orang istrinya saja. Sehingga ia menelantarkan istrinya yang lain. Dan hal ini adalah sebuah kezhaliman terhadap hak istri. Dampak yang paling parah terjadi, istrinya akan mencari kepuasan kepada selain suaminya, alias berzina. Wal iyyadzubillah!

Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang memiliki kemapuan untuk menikah, maka menikahlah…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

4.      Mampu memberi nafkah lahir

Hal ini sangat jelas, karena seorang yang berpoligami, wajib mencukupi kebutuhan nafkah lahir para istrinya. Bagaimana ia ingin berpoligami, sementara nafkah untuk satu orang istri saja belum cukup? Orang semacam ini sangat berhak untuk dilarang berpoligami.

Allah Ta’ala berfirman

لْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
(yang artinya), “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sampai Allah memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya…” (QS. An-Nur: 33)

Demikian tulisan singkat tentang poligami. Poligami adalah syariat mulia yang bisa bernilai ibadah. Namun untuk melaksanakan syariat tersebut membutuhkan ilmu, dan terpenuhi syarat-syaratnya. Jika anda merasa tidak mampu memenuhi 4 syarat di atas, maka jangan coba-coba untuk berpoligami.[9]
2.5 Pendapat Ulama Tentang Poligami

Sebagian besar ulama klasik dan pertengahan memperbolehkan adanya praktek berpoligami. Namun poligami boleh dilakukan jika memenuhi syarat-syarat berpoligami. Syarat-syarat tersebut antara lain, laki-laki hanya diperbolehkan menikahi empat perempuan dan harus bisa berlaku adil

Pengarang kitab al-Umm, yaitu al-Syafi’I berpendapat bahwa Hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Umar tentang Gailan bin Salamah al-Saqafi, seorang sahabat nabi yang masuk Islam dengan membawa sepuluh istrinya, kemudian diperintahkan oleh Nabi untuk memilih empat dari mereka adalah sebagai dalil akan kebolehan poligami. Bilangan empat yang dimaksud adalah sebagai batas maksimal bagi seorang yang ingin melakukan poligami. Dapat dikatakan bahwa Al-Syafi’I memperbolehkan praktek poligami dengan catatan harus memenuhi persyaratannya, yaitu mampu berbuat adil kepada para istrinya dan batasan empat perempuan. Jika lebih dari empat maka dianggap haram.

Menurut beliau yang dimaksud dengan bersifat adil yaitu adil secara materi (seperti pembagian malam, nafkah, mewarisi) atau fisik. Sedangkan keadilan dalam hal hati (cinta) sulit dilakukan karena hanya Allah yang mengetahuinya. Sehingga seseorang yang melakukan poligami sulit dalam membagi hatinya kepada istri-istrinya

Dalam kitab al-Muwatta’, Imam Malik mengatakan bahwa orang yang melakukan poligami hanya diperbolehkan sebanyak empat istri dan ini berlaku bagi suami yang merdeka. Ahmad bin Hanbal menyebutkan batas maksimal seorang laki-laki nerpoligami hanyalah empat istri dan harus diikuti dengan sikap adil, seperti pembagian giliran terhadap istri-istri  sehingga tidak diperbolehkan condong pada salah satu istri. Dengan mengutip pada QS. Al-Nisa’ ayat 129, Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa keadilan yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah keadilan dalam hati, sehingga dalam ayat itu, Allah menyatakan kemustahilannya kepada manusia untuk membagi hatinya secara adil.

Dengan mengutip beberapa pendapat dari beberapa ulama (Abu Hanifah, Muzhar ibnu al-Hamam), al-Dahlawi mengatakan bahwa Hadis yang berisi mengenai sahabat Gailan bin Salamah merupakan dasar diperbolehkannya berpoligami namun dengan batasan empat orang istri.

Pengarang kitab ‘Aun al-Ma’bud (kitab syarah Sunan Abu dawud) juga mengatakan bahwa jika beristri lebih dari emapat hukumya tidak boleh. Hal ini disebabkan karena Nabi menyuruh Gailan bin Salamah untuk mempertahankan empat istri dari sepuluh istrinya.

Didalam kitab Fath al-Bari, Al-Bagawi menafsirkan QS. An-Nisa ayat 3. Dimana beliau membatah para ulama yang menafsirkan ayat tersebut secara keliru. Para ulama menafsirkan huruf wau pada kalimat masna wa sulasa wa ruba’a merupakan jumlah, sehingga 2+3+4=9. Sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang boleh menikahi istri sebanyak Sembilan orang. Sama seperti jumlah istri Nabi sebanyak sembilan.

Sedangkan Al-Asqalani berpendapat bahwa wau tersebut artinya adalah  au (atau), sehingga pengertian wau bukanlah jumlah tetapi atau. Jika Nabi memiliki sembilan istri beliau berpendapat bahwa hal tersebut merupakan hal yang khusus bagi Nabi.

Dari sekian banyak pendapat para ulama klasik, mereka cenderung memperbolehkan suami untuk berpoligami dengan batasan empat orang istri dan harus mampu bersikap adil. Mereka juga berpendapat mengenai hal keadilan, menurut mereka keadilan yang dimaksud adalah keadilan materi sedangkan keadilan dalam bentuk kasih sayang atau cinta hanya Allah saja yang mengetahuinya.[10]

2.6 Alasan Dan Manfaat Poligami
                                                                                              
1.    Kebebasan individual: setiap orang bebas dan bertanggungjawab untuk menentukan pasangan hidupnya sendiri, entah jumlah pasangannya nol, satu, dua atau pun tiga.

2.    Cinta; kalau seorang pria jatuh cinta pada seorang perempuan dan demikian juga sebaliknya, maka pasangan ini berhak untuk kawin kendatipun ini bukan perkawinan pertama mereka dan juga bukan dengan pasangan pertama.

3.    Ekonomis: kalau seorang laki-laki bisa menghidupi ekonomi sekian istri dengan semua anak mereka, ia memiliki modal ekonomi kuat untuk berpoligami.

4.    Dukungan psikologis: jika istri-istri tua rela menerima kehadiran istri-istri muda, si suami tidak mengalami kendala internal untuk ia berpoligami.


5.    Berpoligami bukanlah tindakan kriminal (sekalipun ada UU Perkawinan), apalagi jika poligami dilakukan karena alasan cinta.

6.    Poligami tidak otomatis akan membuahkan ketidakadilan gender, jika si suami sungguh-sungguh dapat memperlakukan semua istrinya dengan respek, cinta dan keadilan.


7.    Poligami tidak otomatis menghina dan merendahkan kaum perempuan, malah bisa terjadi hal sebaliknya.

8.    Poligami tidak otomatis menodai atau merendahkan agama apapun, sejauh orang yang berpoligami tetap bisa menjalankan ibadahnya dengan setia.
9.    Poligami paralel dengan tindakan membentuk masyarakat yang jumlah anggotanya lebih besar.

10.                        Poligami adalah seni yang lebih advanced membangun rumah tangga; dan tidak ada satu karya senipun yang harus dimusuhi.[11]

2.7 Dampak Poligami

1.    Timbul perasaan dalam diri menyalahkan diri sendiri, istri merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya.

2.    Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Tetapi seringkali pula dalam prakteknya, suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.

3.    Hal lain yang terjadi akibat adanya poligami adalah sering terjadinya kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis.[12]

4.    Selain itu, dengan adanya poligami, dalam masyarakat sering terjadi nikah di bawah tangan, yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan pada kantor pencatatan nikah (Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama). Perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Bila ini terjadi, maka yang dirugikan adalah pihak perempuannya karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi oleh negara. Ini berarti bahwa segala konsekwensinya juga dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.

5.    Para suami bebas berselingkuh, berpindah ke lain hati. Jika jatuh cinta lagi ke pada WIL (Wanita Idaman Lain) bisa dikawini. Jika sudah bosan dengan istri pertama, cari istri kedua dst. Akhirnya terjadi penurunan moral suami, keluarga yang berantakan, penurunan kesejahteraan keluarga.

6.    Para muslim berlomba-lomba cari istri tambahan, kawin lagi.

7.    Karena terinspirasi contoh nabi dan para tokoh ulama (Aa Gymm, Hamzah Haz, Rhoma, dst.)  yang berpoligami, para muslim berangan-angan cari wanita lain yang lebih dari istri sebelumnya[13]





BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Persoalan poligami adalah persoalan budaya yang ada sejak ribuan tahun sebelum Islam. Al Qur’an diturunkan pada saat budaya poligami sangat mengakar, sehingga yang diperlukan saat itu adalah pembatasan dan kritik terhadap perilaku poligami yang menyimpang. Bisa dinyatakan bahwa poligami tidak ada kaitannya dengan keberagamaan seseorang, keimanan, ketakwaan dan ketaatannya kepada Allah Swt. Justru yang terkait dengan keIslaman dan keimanan adalah sejauh mana setiap orang bisa berbuat baik terhadap orant-orangterlantar dan yang dipinggirkan serta mereka yang menjadi korban kekerasan struktur sosial. Seperti yang diwasiatkan Nabi Saw pada saat haji Wada’, semua orang diharuskan berbuat baik terhadap perempuan, menghargai dan mengagungkan mereka. Persoalan apakah monogami atau poligami yang lebih memartabatkan perempuan, selayaknya diserahkan kepada nurani para perempuan.

Diantara sebab yang membolehkan poligami antara lain :

a)     Istri tidak dapat melahirkan keturunan, sementara suami sangat menghendakinya.
b)    Banyak wanita yang tidak menikah karena jumlah wanita lebih banyak daripada laki-laki.
c)     Wanita janda yangditinggal wafat suaminya, sedang ia perlu sekali mendapatkanpertolongan, baik untuk dirinya maupun anak-anaknya yang telah menjadi yatim dan tidak dapat ditempuh dengan jalan lain kecuali dengan menikahinya.
d)    Istri yang sudah diceraikan perlu (ingin) rujuk atau kembali menikah padahal suaminya sudah menikah dengan orang lain.
e)     Seorang pria yang sudah beristri jatuh cinta kepada wanita lain yang tidak dapat dihindarinya, kalau tidak dinikahinya khawatir terjerumus kepada perzinaan.
f)     Sebab lain yang menurut pertimbangan yang masak bahwa poligami merupakan satu-satunya jalan yang halal dan dapat ditempuh



DAFTAR PUSTAKA

1.      Faridl, Miftah, KH.,  150 Masalah Nikah & Keluarga, Jakarta, Gema Insani, 1999

2.      Azhar Basyir, Ahmad, MA, KH.,  Hukum Perkawinan Islam, (Cet. XI, Yogyakarta, UII Press, 2007)

3.      Ibnu Majah, Sunan Ibnu Mājah : Hadīts  Nomor 1859, JUZ  VI, Beirut : Dar al-Fikri, 1415/1995

4.      At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, juz IV, Beirut, Dar al-Fikri, 1995

5.      http://www.masbied.com/search/macam-macam-dampak-dari-poligami (Saturday, March 24, 2013;5:42 AM)

6.      Amiur Nuruddin dan Azhari akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Cet. 2; Jakarta, Prenada  Media, 2004) 

7.      Titik Triwulan Trutik dan Trianto, Poligami Perspektif Perikatan Nikah (Cet. 1; Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007)

8.      Asep Nurdin, Hadis-hadis Tentang Poligami (Studi Pemahaman Hadis Berprespektif Jender, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2003)




[1] Faridl, Miftah, KH.,  150 Masalah Nikah & Keluarga, Jakarta, Gema Insani, 1999
[2] Faridl, Miftah, KH.,  150 Masalah Nikah & Keluarga, Jakarta : Gema Insani, 1999
[3] http://www.masbied.com/search/macam-macam-dampak-dari-poligami
[4] Faridl, Miftah, KH.,  150 Masalah Nikah & Keluarga, Jakarta : Gema Insani, 1999
[5] AmiurNuruddin dan Azhari akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Cet. 2; Jakarta, Prenada  Media, 2004)  h. 156.
[6] Amiur Nuruddin dan Azhari akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Cet. 2; Jakarta, Prenada  Media, 2004) 
[7] Amiur Nuruddin dan Azhari akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Cet. 2; Jakarta, Prenada  Media, 2004) 
[8] Asep Nurdin, Hadis-hadis Tentang Poligami (Studi Pemahaman Hadis Berprespektif Jender, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2003), hlm. 70
[9] Asep Nurdin, Hadis-hadis Tentang Poligami (Studi Pemahaman Hadis Berprespektif Jender, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2003), hlm. 89
[10] Asep Nurdin, Hadis-hadis Tentang Poligami (Studi Pemahaman Hadis Berprespektif Jender, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2003), hlm. 97
[11] Azhar Basyir, Ahmad, MA, KH.,  Hukum Perkawinan Islam, (Cet. XI, Yogyakarta, UII Press, 2007) hlm 76
[12] Titik Triwulan Trutik dan Trianto, Poligami Perspektif Perikatan Nikah (Cet. 1; Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007)
[13] Azhar Basyir, Ahmad, MA, KH.,  Hukum Perkawinan Islam, (Cet. XI, Yogyakarta, UII Press, 2007) hlm 79

Tidak ada komentar:

Posting Komentar