ZAKAT FITRAH (ZAKATUN NAFS)
I. MAKNA ZAKAT FITRAH
Ibnu Qutaibah berkata : “Yang
dimaksud dengan zakat fitrah adalah zakat jiwa”.Nama ini diambil dari kata fitrah
yang berarti asal kejadian.Dengan demikian, zakat fitrah adalah zakat sebagai
pembersih jiwa, sebagaimana zakat mal sebagai pembersih harta dari hak-hak
mustahiq.[1]
Dan zakat fitrah ini merupakan
salah satu dari kekhususan umat ini yang menurut pendapat yang masyhur,
bahwasannya zakat fitrah ini disyariatkan pada tahun kedua Hijriah dua hari
sebelum ‘Idul Fitri yang tentu salah satu tujuan pentingnya adalah sebagai
penutup dari kholal (kekurangan) yang terjadi di waktu puasa
Romadhon.Sebagaimana sujud sahwi itu menutup kekurangan yang terjadi di dalam
sholat.Dan itulah yang dikatakan oleh Imam Waqi’ bin Al-Jaroh yang beliau
adalah satu guru Imam Syafi’i.[2]
Sedangkan beberapa hadits yang
membahas tentang zakat fitrah ini antara lain :
1. Hadits yang berasal
dari sahabat Abdulloh bin Umar r.a, yang dia berkata :
فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ
اْلفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى اْلعَبْدِ وَاْلحُرِّ
وَالذَّكَرِ وَاْلأُنْثَى وَالصَّغِيْرِ وَاْلكَبِيْرِ مِنَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَأَمَرَ
بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ. (متفق عليه)
“Rosululloh Saw. telah Mewajibkan menunaikan zakat fitrah berupa
satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi seorang budak, orang merdeka,
laki-laki, perempuan, anak kecil, maupun orang dewasa dari kalangan umat
Islam.Dan beliau memerintahkan zakat fitrah itu untuk dilaksanakan sebelum
keluarnya manusia menuju sholat ‘Idul Fitri.” (Muttafaq ‘alaih)[3]
2. Hadits yang berasal
dari sahabat Ibnu Abbas r.a, yang dia berkata :
فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ اْلفِطْرِ طُهْرَةً
لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ. فَمَنْ أَدَّاهَا
قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ
فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ (رواه أبو داود وابن ماجه وصححه الحاكم)
“Rosululloh Saw. telah mewajibkan untuk mengeluarkan zakat
fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari ucapan keji dan tidak ada
gunanya, juga untuk memberi makan kepada orang-orang miskin.Maka barang siapa
yang menunaikan zakat fitrah sebelum sholat ‘Id, maka itu adalah zakat yang
diterima, sedang siapa yang menunaikannya setelah sholat ‘Id maka hanya
bernilai sedekah biasa.”(H.R
Abu Dawud, Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Imam Hakim)[4]
II. BEBERAPA HIKMAH ZAKAT FITRAH
Adapun hikmah diwajibkannya
zakat fitrah dalam bulan Romadhon atau di waktu Maghrib pada tanggal 1 Syawwal
itu adalah :
1. Menumbuhkan rasa
kasih sayang terhadap fakir miskin. Diharapkan dengan zakat yang diberikan,
mereka tercukupi kebutuhannya pada saat hari raya dan dapat bersuka cita
bersama lainnya.
2. Bagi yang
menunaikannya, hal tersebut sebagai pembersih dari kekhilafan-kekhilafan yang
dilakukan saat berpuasa. Imam Abu Dawud meriwayatkan hadits dari sahabat Ibnu
Abbas r.a yang dia telah berkata :
“Rosululloh SAW. telah mewajibkan untuk
mengeluarkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari ucapan
keji dan tidak ada gunanya, juga untuk memberi makan kepada orang-orang miskin.
Maka barang siapa yang menunaikan zakat fitrah sebelum sholat ‘Id, maka itu
adalah zakat yang diterima, sedang siapa yang menunaikannya setelah sholat ‘Id
maka hanya bernilai sedekah biasa”.[5]
III. KEPADA SIAPA ZAKAT FITRAH DIWAJIBKAN
?
Kewajiban zakat fitrah ini dibebankan kepada
setiap orang yang memiliki tiga syarat
- Beragama Islam, maka zakat fitrah tidak diwajibkan bagi seorang yang kafir ashliy kecuali dia mengeluarkan zakat fitrah untuk orang muslim yang ia tanggung nafkahnya yang bentuknya bisa jadi adalah budak atau karib kerabatnya yang Islam.
- Dia menemui atau masih hidup diwaktu wajibnya zakat fitrah yaitu dia menemui sebagian akhir dari bulan Romadhon dan awal dari bulan Syawwal.
- Terdapat kelebihan dari makanan pokok yang dia dan keluarganya konsumsi pada malam dan siangnya ‘Idul Fitri’ dan juga merupakan kelebihan dari pakaian yang layak, tempat tinggal dan pembantu yang memang dibutuhkan olehnya.[6]
Dan apabila seseorang telah
mengumpulkan syarat-syarat tersebut di atas, maka wajiblah baginya untuk
mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya sendiri. Kemudian setelah dirinya
terpenuhi, siapa lagi yang ia harus bayarkan dari orang-orang yang
ditanggungnya. Maka, dalam hal ini urutannya adalah sebagai berikut:
1. Istrinya
2. Anaknya yang masih
kecil
3. Bapaknya
4. Ibunya
5. Anaknya yang sudah
besar
Ini semua berdasarkan apa yang
dijelaskan oleh Imam Muhammad Az-Zuhri Al-Ghomrowi dalam kitabnya Anwarul
Masalik[7]:
“Dan barang siapa yang
diawajibkan atasnya zakat fitrah dan mendapatkan sebagian darinya, maka
dirinyalah yang didahulukan (untuk dikeluarkan zakatnya) kemudian istrinya,
lalu anaknya yang kecil kemudian bapaknya kemudian ibunya kemudian anakanya
yang besar (yang belum bekerja)”.[8]
IV. JENIS DAN UKURAN ZAKAT FITRAH
Barang yang digunakan zakat
fitrah adalah makanan pokok yang wajib ada pada tempat muzakki mengeluarkan
zakat fitrahnya. Hal ini dikarenakan tujuan dari zakat ini tiada lain adalah
untuk mengenyangkan fakir miskin dan mustahiq-mustahiq lain pada malam dan siang
hari raya tersebut. Jadi jelasnya orang yang berada di daerah Jawa kalau dia
hendak mengeluarkan zakat fitrahnya, hendaknya dia mengeluarkan zakat dalam
bentuk makanan pokok penduduk jawa, yaitu beras, karena inilah yang dijadikan
makanan pokok pada lazimnya, walaupun makanan pokok dari muzakki tersebut bukan
beras. Dan pendapat Ulama’ yang menyatakan bahwa zakat fitrah hendaknya
berdasarkan makanan pokok dari muzakki, munurut Imam Al-Qolyubi adalah pendapat
yang marjuh (lemah) dibanding pendapat pertama dan tidak boleh dipergunakan
patokan dan sandaran hukum.[9]
Adapun kadar dan ukuran zakat
fitrah adalah satu sho’ yang pernah dipakai Rasulullah SAW yang menurut ukuran
kita adalah:
1 Sho’= 4 Mud
1 Mud = 600 gram
4 Mud = 2400 gram = 2,4 Kg[10]
Jadi, ukuran satu Sho’ itu
sama dengan ukuran 2,4 Kg pada saat ini, yang biasanya dibulatkan menjadi 2,5
Kg. sesuai hasil konversi yang disebutkan dalam kitab Mukhtashor Tasyyid
al-Bunyan, satu sho’ setara dengan 2,5 kilogram.[11]
Sedang kadar zakat fitrah yang harus ditunaikan dalam bentuk satu sho’
dari makanan pokok (beras putih) menurut hasil konversi K.H Muhammad Ma’shum bin Ali Kuaron-Jombang[12]
setara dengan 2,720 kilogram beras putih dalam kitabnya Fathul Qodir fi
‘Ajaibil Maqodir. Sedang saran kami untuk kehati-hatian, maka hendaknya
kita mengeluarkan zakat fitrah dengan hitungan yang besar yaitu 2,720 Kg atau
ada yang membulatkan 3 Kg, sedangkan lebihnya kita anggap sodaqoh.
Disamping itu yang perlu kita
perhatikan dalam berzakat, adalah memilih barang yang baik bahkan mungkin juga
yang terbaik dalam pelaksanaan zakat tersebut, karena tujuan kita dalam
berzakat adalah ibadah dalam mencari keridhoan Allah disamping kerelaan dan
rasa suka dari orang yang kita beri, dengan kita melaksanakan yang demikian ini,
niscaya ibadah kita mendapatkan pahala, dan di sisi lain mereka merasa senang
dengan apa yang kita berikan ini. Tapi, apabila yang kita berikan dari barang
zakat adalah mutunya jelek, barang curian dan sebagainya, maka Imam Sayyid
Bakri Syatho menyatakan zakat kita belum mencukupi atau dianggap belum
berzakat.
“Dan tidaklah mencukupi
mengeluarkan satu sho’ makanan yang tercela atau ada cacatnya seperti barang
penipuan, atau ada ulatnya, atau terlalu lama disimpan sehingga berubah
warnanya, rasa atau baunya. Maka, ditentukanlah pengeluarannya adalah satu Sho’
yang baik dan tidak cacat”.[13]
V. WAKTU-WAKTU MENGELUARKAN ZAKAT FITRAH
Adapun waktu-waktu
mengeluarkan zakat fitrah itu menurut para ulama Syafi’iyyah ada lima waktu
yang perlu diperhatikan, hal ini dijelaskan oleh As-Sayyid Bakri Syatho yang
uraiannya adalah sebagai berikut:
“Pendeknya bahwasannya zakat
fitrah itu ada lima waktu:
1. Waktu jawaz (boleh)
2. Waktu wujub (wajib)
3. Waktu fadlilah
(utama)
4. Waktu karohah
(makruh)
5. Waktu hurmah (harom)
Adapun waktu jawaz adalah awal
bulan; waktu wujub adalah ketika tenggelamnya matahari; waktu fadlilah ialah
sebelum keluar untuk sholat ‘Idul Fitri; waktu karohah ialah ketika
mengakhirkannya dari setelah sholat Id kecuali ada udzur seperti menunggu
kerabat dekat atau orang yang sangat membutuhkan; sedangkan waktu hurmah ketika
mengakhirkannya dari sholat Id tanpa ada udzur syar’i. [14]
VI. PEMBAGIAN ZAKAT KEPADA 8 GOLONGAN YANG
BERHAK MENERIMA ZAKAT (AL-ASNAFUS TSAMANIYAH)
Zakat fitrah yang telah
dibahas pada pembahasan ini haruslah diserahkan pada 8 golongan penerima zakat
yang telah disebutkan oleh Allah dalam Al-Quran yang biasa kita sebut dengan
Al-Ashnafus Tsamaniyah.
Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَ الْمَسَاكِيْنِ وَ
الْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَ الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَ فِي الرِّقَابِ وَ
الْغَارِمِيْنَ وَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَ ابْنِ السَّبِيْلِ. (التوبة: 60)
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah diberikan kepada
orang-orang fakir, orang-orang miskin, para pekerja urusan zakat, orang-orang
yang dijinakkan hatinya (karena baru memeluk islam), hamba sahaya yang sedang
berikhtiyar menembus dirinya untuk menjadi orang yang merdeka, orang-orang yang
punya hutang (kerena kepentingan agama), orang-orang yang berjuang di jalan
Allah (tanpa gaji dari pemerintah) dan musafir yang kehabisan bekal tatkala
berada di perjalanan.”
Pada ayat ini ada lafadzإِنَّمَا yang faidahnya untuk Lil Khashri (menyempitkan)
artinya pembagian zakat ataupun zakat fitrah hanya dibatasi dan disempitkan
hanya 8 golongan saja yang lain tidak boleh, sedang empat golongan pertama dalam
ayat ini menggunakan “huruf jer Lam yang bermakna (memiliki). Sedangkan,
empat golongan yang lainnya digandeng dengan huruf jer Fi yang bermakna dzorfiyah
yang berarti menempati. Hal ini berarti bahwa untuk fuqoro’, masakin, muallaf, dan
amil, maka zakat itu mutlak milik mereka dengan pembagian yang telah ditentukan
oleh agama dan tidak boleh ditarik kembali dari tangan mereka.
Sedangkan untuk budak, ghorim, pejuang di jalan Allah dan
ibnu sabil (musafir) zakat tersebut bukanlah milik mereka, tetapi mereka hanya
bisa menggunakan, sedangkan apabila terdapat kelebihan dari kebutuhannya harus
dikembalikan pada muzakki, amil/panitia.[15]
Adapun 8 golongan yang berhak mendapat zakat maal dan
zakat fitrah perinciannya adalah sebagai berikut:
1. Fakir
Fakir adalah orang yang tidak punya harta benda dan
pekerjaan sama sekali atu orang yang punya harta atau pekerjaan tetapi tidak
mencukupi kebutuhannya.[16]
Gambaran yang lebih konkrit dari makna ini adalah apabila
ada orang yang kebutuhan sehari-harinya 10 dirham, sedangkan yang ia peroleh
hanya 2 dirham saja. Sekalipun ia memiliki rumah yang ia tempati, memakai
pakaian yang menjadi perhiasannya ataupun juga ia mempunyai pembantu yang memang
ia butuhkan, maka demikian ini tetaplah ia dikatakan fakir.[17]
2. Miskin
Miskin adalah orang yang memiliki harta yang hampir
mencukupi kebutuhannya tapi tidak cukup untuk menutupi seluruh kebutuhan
kesehariannya.[18]
Misal dari orang miskin ini adalah orang yang kebutuhannya
10 dirham tapi ia hanya memiliki 7 dirham saja. Sedang maksud dari ucapan dalam
definisi yaitu segala sesuatu yang
mencukupinya secara wajar dan tidak berlebih-lebihan seperti makanan, minuman
dan paikan yang umum dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan
sehari-hari yang tidak berlebih-lebihan.[19]
3. Amil
Amil adalah orang yang diperkerjakan oleh imam untuk
mengambil zakat kemudian membagikannya kepada para mustakhiq zakat, sebagaimana
yang dijelaskan oleh Alloh SWT dalam Al-Qur’an. “Dan boleh bagi amil untuk
mengambil bagian dari zakat dengan syarat tertentu karena dia termasuk bagian
dari Asnafus Tsamaniyah yang disebut dalam Al-Qur’an.”[20]
4. Mu’allaf
Lafadz Al Mu’allaf Kulubuhum dari segi bahasa
artinya yang artinya adalah “dilemahkan,” Sedangkan makna muallaf adalah
: Orang yang masuk islam, sedangkan niatnya masih lemah maka di lunakkan
hatinya dengan di beri zakat untuk menguatkan imannya atau tokoh yang masuk islam dan niatannya
sudah kuat dan dia punya kemulyaan/wibawa pada kaumnya, sehingga dengan
memberinya zakat diharapkan kaumnya akan masuk kedalam agama islam.[21]
5. Ar Riqob
Riqob adalah budak-budak mukathab (yang ingin
memerdekakan diri) yang perjanjian kitabahnya sah; mukatab diberi oleh tuannya
ijin untuk mencari dana guna menebus tunggakan angsuran kemerdekaan baginya,
jika ia tidak mampu melunasinya, sekalipun ia rajin bekerja, tetapi tidak boleh
diberi dari zakat tuannya, karena dirinya masih tetap menjadi milik sang tuan.[22]
6. Ghorim
Ghorim adalah orang yang berhutang buat diri sendiri untuk
kepentingan yang bukan maksiat maka Ghorim ini boleh diberi bagian zakat bila
tidak mampu melunasi hutangnya, sekalipun rajin bekerja, sebab pekerjaan itu
tidak bisa menutup kebutuhannya untuk melunasi hutang bila telah tiba saat
pembayarannya.[23]
7. Sabilillah
Sabilillah adalah pejuang agama sukarelawan (yang tidak
dibayar oleh pemerintah) sekalipun kaya, maka pejuang diberi bagian sebagai
nafkahnya, pakaiannya dan juga untuk keluarganya, selama masa ia bepergian
(untuk perang) dan pulang. Demikian pula diberi biaya (untuk membeli) alat
peperangan/perjuangan.[24]
Adapun ucapan sebagian ulama termasuk Imam
Qoffal bahwa maksud dari lafadz Fi Sabilillah adalah “Sabilil Khoir”
( jalan kebaikan apa pun), sehingga zakat boleh diberikan untuk pembangunan
masjid, pembangunan pondok, membeli kain kafan untuk mayyit dan sebagainya. [25]
Maka Pendapat yang demikian ini adalah pendapat yang lemah seperti yang
diputuskan dalam Mu’tamar Nahdhotul Ulama’ [26],
dan hal ini sesuai dengan pernyataan kitab Rohmatul Ummah yang menyatakan
وَ اتَّفَقُوْا عَلَى مَنْعِ اْلإِخْرَاجِ لِبِنَاءِ مَسْجِدٍ وَ تَكْفِيْنِ
مَيِّتٍ
“Dan seluruh ulama’ bersepakat atas
tercegahnya/dilarangnya mengeluarkan zakat untuk pembangunan masjid dan
mengkafani mayit”.[27]
8. Ibnu Sabil
Ibnu Sabil adalah musafir yang melewati daerah zakat atau
memulai kepergiannya yang diperbolehkan syara’ dari daerah zakat, sekalipun
untuk pesiar atau ia rajin bekerja; lain halnya bila musafir berbuat maksiat
kecuali apabila ia bertaubat atau musafir tanpa tujuan yang benar, misalnya
orang berpetualang.[28]
Musafir yang demikian ini diberi bagian secukupnya yaitu
kebutuhannya dan kebutuhan pesertanya yang menjadi tanggungannya, baik biaya
nafkah, pakaian, selama pergi sampai pulang, jika tidak memiliki harta di
tengah perjalanan atau tempat tujuannya.[29]
Inilah delapan golongan yang berhak untuk menerima zakat
dan selain apa yang telah kami terangkan dalam risalah ini tidak berhak untuk
menerima zakat apapun juga.
VII. GOLONGAN YANG TIDAK BERHAK
MENERIMA ZAKAT
Agar zakat kita mengenai sasaran dengan tepat dan dapat
dipertanggungjawabkan dari sudut syar’inya, maka hendaknya kita mengetahui
golongan-golongan yang tidak boleh diberi zakat yang kadang-kadang di kalangan
kita kurang memperhatikan.Al-Imam Ahmad bin Ruslan Asy-Syafi’i dalam nazhom
Zubadnya menyatakan tentang orang-orang yang tidak boleh menerima zakat :
......................... .. · وَلَـيْسَ يَـكْـفِى
دَفْعٌ لِكَافِرٍ وَلاَ مَمْسُوْسِ رِقْ · وَلاَ نَصِيْبَيْنِ لِوَصْفَى مُسْتَـحِقْ
وَلاَ بَنِى هَـاشِمِ وَاْلمُطَّلِـبِ · وَلاَاْلغَنِى بِمَـالٍ اَوْ َتَكَـسُّبِ
وَمَنْ بِاِنْفَاقٍ مِنَ الزَّوْجِ وَمَنْ · حَتْمًا مِنَ اْلقَرِيْبِ مَكْفِيُّ اْلمُؤَنْ
Dan tidak mencukupi atau belun
berzakat apabila diserahkan kepada :
- Orang kafir
- Orang yang tersentuh perbudakan atau menjadi budak
- Orang yang punya dua sifat mustahiq
- Bani Hasyim, Bani Mutholib
- Orang kaya sebab banyak hartanya atau mendapat pekerjaan yang layak
- Orang yang dapat nafkah dari suaminya atau orang yang dekat atau yang mencukupi kebutuhannya
Agar lebih jelasnya keterangan
tentang enam golongan ini, maka akan kami jelaskan satu per satu sebagai
berikut :
1. Orang kafir
Berkatalah Al-Imam Taqiyyudin
Abu Bakar bin Muhammad : “Tidak boleh menyerahkan zakat kepada orang kafir
dikarenakan ada hadits Rosululloh SAW kepada sahabat Muadz r.a :Maka
beritahukanlah kepada mereka (maksudnya adalah penduduk Yaman) :Sesungguhnya
bagi mereka terdapat shodaqoh atau zakat yang diambil dari orang-orang kaya di
antara mereka kemudian dibagikan kepada orang-orang kafir di antara mereka
juga.Oleh karena itu apabila hanya diambil dari orang-orang muslim yangkaya,
maka zakatnyapun tidak akan dibagikan kecuali kepada orang-orang muslim yang
fakir.Hal yang demikian ini berlaku bagi zakat mal ataupun zakat fitrah karena
haditsnya bersifat umum”.[30]
2. Budak
Berkatalah Al-Imam Taqiyyudin
Abu Bakar bin Muhammad dalam kitabnya Kifayatul Akhyar : “Tidak boleh
menyerahkan zakat kepada para budak, sebab mereka adalah orang-orang yang
berkecukupan dari nafkah tuannya atau mereka adalah orang-orang yang tidak
memiliki sesuatu (termasuk dirinya)”.[31]
3. Orang yang
mempunyai dua mustahiq
Yang dimaksud di sini adalah
bahwa seorang muzakki atau amil atau panitia yang membagikan zakat tidak boleh
memberikan zakat kepada mustahiq yang padanya terkumpul dua macam sifat dari
ashonafuts tsamaniyah sperti seorang fakir yang juga jadi seorang
pejuang.Tetapi hendaknya dipilih salah satu saja dari kedua sifat
tersebut.Seperti memberi zakat kepadanya atas nama fakirnya saja atau karena
perjuangannya fi sabilillah.Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh
Al-Imam Romli : “Dan tidak boleh memberi zakat atau bagian dari zakatnya
seseorang karena dua sifat mustahiq berkumpul di dalamnya akan tetapi hendaknya
menyerahkan zakat kepada mustahiq yang dipilih dari salah satu sifat tersebut.Karena
terusnya huruf athof dalam ayat yang berbeda tersebut”.[32]
4. Bani Hasyim dan
Bani Mutholib
Yang dimaksud dengan Bani
Hasyim dan Bani Mutholib di sini adalah seluruh keturunan dari Sayyid Hasyim
bin Abdi Manaf bin Qushoy bin Kilab dan
saudaranya yaitu Abdul Mutholib bin Abdi Manaf
bin Qushoy bin Kilab, yang kalu kita teliti lagi bahwa Sayyid Hasyim ini
adalah ayah dari dari kakek Rosululloh yang bernama Abdul Mutholib.Sedangkan
nasabnya Rosululloh adalah Sayyid Muhammad bin Abdillah bin Abdil Mutholib bin
Hasyim.Jadi jelaslah bagi kita bahwa yang dimaksud dengan Abdul Mutholib pada
bab zakat ini bukanlah Abdul Mutholib yamg menjadi kakeknya Rosul, tetapi
adalah Abdul Mutholib yang merupakan saudara dari Sayyid Hasyim bin Abdi Manaf
ayah dari kakek Rosululloh.Dalam bab zakat ini keturunan beliau berdua yaitu
Bani Hasyim dan Bani Mutholib tidaklah boleh untuk menerima zakat.Hal ini
dijelaskan oleh Imam Abu Ishaq As-Syirozi dalam Muhadzabnya.[33]Sedangkan
pada saat ini yang berlaku di Indonesia dan belahan bumi yang lain, keturunan
dan cucu Rosululloh dari Sayyid Hasan dan Sayyid Husein yang sering disebut
dengan sebutan Habib kalau laki-laki atau Hababah/Syarifah kalau perempuan
sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi Al-Jawi :
فَاصْطِلاَحُ بَعْضِ أَهْلِ اْلبِلاَدِ اِنَّ ذُرِّيَّةَ رَسُوْلِ اللهِ اِذَا
كَانَ ذَكَرًا يُقَالُ لَهُ الْحَبِيْبُ وَاِنْ كَانَتْ أُنْثَى يُقَالُ حَبَابَةٌ
وَاصْطِلاَحُ اْلاَكْثَرُ يُقَالُ لَهُ سَيِّدٌ وَسَيِّدَةٌ.
“Maka
istilah sebagai ahli negeri bahwa anak cucu Rosululloh SAW apabila ia laki-laki
disebut Habib dan bila wanita disebut Hababah.Sedang kebanyakan
orang sering dikatakan Sayyid atau Sayyidah”.[34]
Dengan demikian,
inilah golongan dari anak cucu Rosululloh yang sampai sekarang banyak kita
jumpai di sekitar kita yang mereka ini tidak diperkenankan atau diharamkan
untuk menerima zakat.Sedangkan bagi mereka sesungguhnya adalah
“Khumusul-khumus” atau 4% dari harta ghonimah/rampasan perang.Tetapi karena
sekarang ini harta ghonimah tidak ada lagi, maka ada sebagian ‘ulama
Syafi’iyyah yang berpendapat bahwa dzurriyah Rosulillah dapat menerima zakat
termasuk zakat fitrah, tetapi ini adalah pendapat yang lemah malahan sebagian
para habaib menentang akan kebolehannya hal tersebut.Hal ini mereka lakukan demi
menjaga ketinggian dan kemuliaan ahlul bait Nabi sendiri.Salah satu dari mereka
yang menentang dengan keras dari kalangan ulama’ habaib adalah Al-Allamah
Al-Habib Abdulloh bin Umar bin Abi Bakar bin Yahya dalam kitab Bughyatul
Mustarsyidin yang di sana beliau menandaskan : “Tidak boleh memberikan zakat
kepada ahlul bait secara mutlak.Dan barang siapa telah berfatwa tentang
kebolehan memberikan zakat kepada mereka, maka sesungguhnya telah keluar dari
madzhab yang empat.Oleh karena itu tidaklah boleh berpegang deagan hal itu
karena sudah menjadi kesepakatan para ulama’ atau ijma’ tentang larangan
memberikan zakat kepada ahlul bait.[35]
5. Orang kaya atau
orang yang layak dan tercukupi oleh pekerjaannya
6. Seorang istri yang
mendapatkan nafkah dari suaminya atau ada kerabat yang bisa mencukupi
kebutuhannya. Mereka ini
tidak ada hak untuk mendapatkan bagian zakat atas nama fakir ataupun miskin
dikarenakan seluruh kebutuhan mereka ada yang menanggung kehidupan
kesehariannya.[36]
AMIL DAN PANITIA ZAKAT FITRAH
Di Indonesia, Ketika Bulan Ramadhan seperti saat
ini banyak kita jumpai disekitar kita badan-badan tertentu, yang telah
menamakan dirinya Amil atau Panitia Zakat. Maka dalam hal ini ada beberapa
point yang harus diperhatikan bagi orang yang ingin membuatnya :
1. Definisi Amil Zakat
adalah :
العَامِلُ هُوَ
الَّذِي اسْتَعْمَلَهُ اْلإِمَامُ عَلَى أَخْذِ الزَّكَوَاتِ لِيَدْفَعَهَا إِلَى
مُسْتَحِقِّيْهَا كَمَا أَمَرَهُ اللّـهُ تَعَالَى.
“Amil
adalah orang yang diperkerjakan oleh imam untuk mengambil zakat kemudian
membagikannya kepada para mustakhiq zakat, sebagaimana yang dijelaskan oleh
Alloh SWT dalam Al-Qur’an”.
Dari definisi diatas dapat kita fahami kalau ada
perorangan, kelompok, lembaga ditengah masyarakat seperti NU dan sebagainya.
Membuat amil Zakat, maka tidak sah sebab tidak diangkat oleh imam (pemerintah).
Sehingga tidak boleh bernama amil harusnya adalah “Panitia Zakat” yang dengan
demikian dia tidak boleh mengambil bagian dari zakat fitrah sebab
tidak termasuk delapan golongan yang disebut didalam QS. At Taubah 60. Dan
sebagaimana ditegaskan dalm Ahkamul Fuqoha’, Keputusan Nomor 286, yang
menyatakan : Panitia pembagian zakat yang ada pada waktu ini, tidak termasuk amil
zakat menurut agama islam, sebab mereka tidak diangkat oleh imam atau kepala
negara.[37]
2. Panitia zakat
posisinya sebagai wakil (orang yang diberi wewenang menyampaikan zakat fitrah)
dari muzakki (orang yang berzakat) yang disebut “Muwakkil,” oleh karena adanya
wakalah maka si panitia tidak boleh sama sekali mengambil, menjual beras zakat
fitrah. Tetapi harus menyampaikan benar-benar kepada mustahiq (orang yang
berhak menerima zakat fitrah).
3. Maka Praktek sebagian
panitia yang mengambil sebagian beras zakat fitrah yang belum dibagikan ke
mustahiq dalam bentuk menjualnya kemudian digunakan konsumsi panitia , membeli
plastik kresek, dan sebagainya, yang digunakan untuk kelancaran panitia adalah
bentuk pengkhianatan dan kedholiman wakil atas barang yang dititipkan padanya
dan hukumnya dosa serta wajib mengantinya.
4. Sekalipun panitia
bukanlah amil, tetapi kerjanya tidak ada bedanya dengan amil maka pantaslah
panitia mendapatkan apresiasi, Sebagaimana Hadist Nabi yang berbunyi :
يَقُوْلُ صَلّى الله
ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ العَامِلُ عَلَى الصَّدَقَةِ بِالْحَقِّ لِوَجْهِ اللهِ تَعاَلَى
كَالْغَازِ فِي سَبِيْلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهِ (رواه
أحمد)
“Bersabdalah Nabi
Muhammad saw, Amil zakat dengan cara yang benar (menurut agama) karena Alloh
SWT semata, Pahalanya seperti orang yang berperang menegakkan agama Alloh,
sehingga ia kembali ke keluarganya”.[38]
Dan Hadist lain yang menandaskan
يَقُوْلُ صَلّى الله
ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ إَنَّهُ سَتُفْتَحُ عَلَيْكُمْ مَشَارِقُ اْلأَرْضِ وَ
مَغَارِبُهَا وَ إِنَّ عُمَّالَهَا فِي النَّارِ إِلاَّ مَنِ اتَّقَ اللهُ عَزَّ
وَ جَلَّ وَ أَدَّى اْلأَمَانَةَ.
“Sesungguhnya akan dibukakan untuk kalian
dunia timur dan dunia barat dan sesungguhnya para amil akan masuk ke neraka
kecuali mereka yang bertaqwa kepada Alloh SWT dan menyampaikan amanat.”
5. Hendaknya dana
operasional panitia tidak diambilkan dari beras zakat fitrah, atau dana masjid
(ketika panitia berada di masjid) tetapi di usahakan dari shodaqoh biasa, yang
memang kita minta akadnya untuk kemaslahatan, operasional dan kelancaran
panitia zakat.
6. Agar zakat fitrah ini
bisa sampai pada mustahiqnya maka syarat-syarat amil, lebih baik juga di penuhi
oleh para panitia zakat yaitu antara lain:
a. Mengerti masalah
zakat yang dipercayakan padanya;
b. Seorang Muslim
c. Mukallaf;
d. Merdeka;
e. Adil;
f. Mendengar/Tidak Tuli;
g. Melihat/Tidak Buta;
h. Laki-laki, karena
amil adalah bagian dari pemimpin.[39]
7. Ketika panitia mulai menarik beras zakat
fitrah, atau ada orang yang datang membawa beras zakat fitrah, maka ditanya
terlebih dahulu zakatnya itu sudah diniati atau belum.Kalau belum dituntun oleh
panitia niatnya.Sedangkan contoh redaksi niat muzakki dalam menyerahkan zakat
fitrahnya adalah sebagai berikut :
نَوَيْتُ
اَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ اْلفِطْرِ عَنْ نَفْسِي فَرْضًا لله تَعَالىَ
“Saya berniat
mengeluarkan zakat fitrah untuk diri saya sendiri fardhu karena Alloh Ta’ala”
Atau bentuk contoh niat zakat untuk orang lain yang ia tanggung nafkahnya
seperti istri, anak, dsb. adalah :
نَوَيْتُ اَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ اْلفِطْرِ عَنْ .....(nama yang dimaksud).....فَرْضًا
لله تَعَالىَ
“Saya berniat mengeluarkan zakat fitrah
untuk......(nama yang dimaksud, bisa nama istrinya, anak-anaknya, orang tuanya
atau siapapun yang ia tanggung nafkahnya) fardhu karena Alloh Ta’ala”
8. Sedangkan panitia
zakat yang merupakan wakil dari muzakki setelah menerima barang zakat bisa
mendo’akan muzakki atau mustahiq yang telah menerima barang zakat, dia boleh
mendo’akan muzakki.Bentuk do’anya adalah do’a yang sering dibaca dan diajarkan
oleh imam Syafi’i yaitu :
بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ. الحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. اَللّهُمّ صَلِّ
وَ سَلِّمْ عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.
آجَرَكَ الله ُفِيْمَا أَعْطَيْتَ وَجَعَلَهُ لَكَ طَهُوْرًا وَ بَارِكْ لَكَ فِيْمَا
أَبْقَيْتَ. وَ صَلَّى الله عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ
وَ سَلَّمَ. وَ اْلحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Ya Allah,
limpahkanlah rohmat serta salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya serta
sahabatnya seluruhnya. Semoga Allah melimpahkan pahala kepadamu dalam harta
yang telah engkau berikan (sedekahkan) dan semoga Allah menjadikan harta
tersebut mensucikan dirimu serta semoga Allah melimpahkan keberkahan darimu
dalam harta yang masih tetap ada padamu dan semoga limpahan rohmat serta salam
atas Nabi Muhammad, keluarganya serta sahabatnya seluruhnya. Dan segala puji
bagi Allah Tuhan semesta alam.”
9. Apabila seorang
muzakki datang kepada panitia yang tujuannya
membayar zakat fitrah sedangkan dia membawa uang tidak membawa beras,
maka panitia harus memberi tahunya bahwa uang tersebut harus dibelikan beras
terkebih dahulu sesuai yang biasa ia makan kemudian baru diniatkan untuk zakat
fitrah dan diserahkan kepada panitia atau panitia berinisiatif membelikan beras
untuknya sesuai yang biasa ia makan atau panitia menyediakan beras yang
kemudian bisa dibeli oleh muzakki dan sekaligus diniati di tempat itu.Sebab
menurut madzhab Syafi’i zakat fitrah menggunakan uang (qimah) tidaklah sah,
sedangkan yang menganggap sah zakat fitrah dengan uang adalah Madzhab Hanafi
dengan ukuran satu sho’ beras ketika dikonversikan ke hitungan kita yaitu 3,8
Kg, padahal sebagian orang-orang yang bersikukuh zakat fitrah boleh pakai uang
masih menggunakan ukuran sho’ madzhab Syafi’i yaitu 2,5 Kg.Dalam kitab Fathul
Mu’in hal.50 disebut
لاَ
تُجْزِئُ قِيْمَةٌ وَلاَ مَعِيْبٌ وَلاَمُسَوِّسٌ وَمَبْلُوْلٌ
“Tidak mencukupi
zakat fitrah dengan uang atau barang yang cacat, berulat dan basah”
CARA PEMBAGIAN ZAKAT FITRAH
Sebelum membagi zakat, panitia
zakat fitrah hendaknya mengetahui golongan-golongan orang di beri zakat. Agar
sasarannya sesuai dengan yang diharapkan oleh syari’at agama, yang
syarat-syaratnya sebagaimana yang telah kami terangkan pada pembahasan
sebelumnya, setelah itu zakat hendaknya dibagikan secara merata kepada golongan penerima zakat yang di
daerah tersebut. Inilah ketentuan yang ada pada mazhab Imam Syafi’i yang kita
ikuti. Tetapi apabila hal ini sulit dilakukan oleh pembagian zakat semacam
amil, maka ada sebagian ulama’ seperti Imam Ibnu Ujail yang membolehkan membagi
zakat kepada satu golongan saja seperti kepada fakir atau miskin saja ataupun
zakat itu diberikan kepada satu orang saja asal termasuk dalam kategori Asnafus
Tsamaniyah. Hal yang semacam ini terungkap dalam keterangan kitab
Bughyatul Musytarsyidin :
لاَ
خَفَاءَ إِنَّ مَذْهَبَ الشَّافِعِي وُجُوْبُ اسْتِيْعَابِ الْمَوْجُوْدِيْنَ مِنَ
اْلأَصْنَافِ فِي الزَّكَاةِ وَ الْفِطْرَةِ وَ مَذْهَبُ الثَّلاَثَةِ جَوَازُ
اْلاِقْتِصَارِ عَلَى صَنْفٍ وَاحِدٍ وَ أَفْتَى بِهِ ابْنُ عُجَيْلٍ وَ
اْلاَصْبُحِي وَ ذَهَبَ إِلَيْهِ أَكْثَرُ الْمُتَأَخِّرِيْنَ لِعُسْرِ اْلأَمْرِ
وَ يَجُوْزُ تَقْلِيْدُ هؤُلاَءِ فِي
نَقْلِهَا وَ دَفْعِهَا إِلَى شَخْصٍ وَاحِدٍ كَمَا أَفْتَى بِهِ ابْنُ عُجَيْلٍ
وَ غَيْرُهُ.
“ Tidak disangsikan lagi, sesungguhnya mazhab
Syafi’i mewajibkan pemerataan zakat maal dan zakat fitrah pada mustahiq yang
ada, yang termasuk dalam Asnafus Tsamaniyah . Sedangkan madzhab selainnya
(Maliki, Hanafi dan Hambali) membolehkan menyerahkan zakat pada satu orang
saja. Dan berfatwalah Imam Ibnu Ujail dan Imam Asbukhy dengan pendapat yang
membolehkan ini. Dan pendapat senada dengan ini dilakukan oleh sebagian besar
ulama’ muta’akhirin. Hal ini disebabkan sulitnya dan boleh bertaqlid kepada
mereka didalam mengambil dan menyerahkan zakat kepada satu orang saja,
sebagaimana di fatwakan oleh Imam Ujail dan lainnya.[40]
Dalam hal ini Imam Ibnu Hajar Al Haitami juga
sependapat dengan Imam Ujail, beliau berkata dalam kitabnya Syarhul Ubab,
membolehkan akan kebolehan hal itu
وَقَالَ ابْنُ حَجَرٍ فِي شَرْحِ
الْعُبَابِ قَالَ اْلأَئِمَّةُ الثَّلاَثَةُ وَ كَثِيْرُوْنَ يَجُوْزُ صَرْفُهَا
إِلَى شَخْصٍ وَاحِدٍ مِنَ اْلأَصْنَافِ
Berkatalah Imam Ibnu Hajar
Al-Haitami dalam Kitab Sarhulul Ubab : “Berkatalah tiga Imam Madzhab (selain
Imam Syafi’i) dan sebagian besar ulama’ tentang bolehnya menyerahkan zakat
kepada satu orang saja yang berhak menerima zakat.” [41]
Adapun bagi pemilik zakat, sekali-kali tidak boleh
untuk memindah-mindahkan zakatnya (Naqluz Zakat) dari daerah setempat ke daerah
berlainan dan zakatnya dinilai tidak sah, selagi para mustahiq ada di daerah
itu. Hal itu sebagaimana yang diungkapkan oleh Al Allamah Zainuddin Al Malibary
dalam Fathul Mu’in:
وَ لاَ يَجُوْزُ لِمَالِكٍ نَقْلُ
الزَّكَاةِ عَنْ بَلَدِ الْمَالِ وَ لَوْ إِلَى مَسَافَةٍ قَرِيْبَةٍ وَ لاَ
تُجْزِئُ
“Tidak dibolehkan
bagi pemilik zakat untuk memindah zakatnya dari daerah setepat harta itu
sekalipun ke daerah yang berlainan, juga zakatnya menjadi tidak sah.”[42]
Tetapi apabila di daerah tersebut mustahiq sudah
mendapatkan bagian, kemudian masih ada sisanya, maka hendaknya kelebihan ini di
tambahkan kepada mustahiq yang dirasa kurang sampai tercukupi semuanya; apabila
masih ada sisanya taupun di daerah tersebut sama sekali tidak ada mustahiq,
maka wajiblah zakat itu dipidah ke daerah yang berdekatan dengan daerah zakat
tersebut.
Hal ini sesuai dengan apa yang di ungkapkan oleh
Imam Nawawi Al-Jawi :
فَإِنْ عُدِمَتِ اْلأَصْنَافُ فِي مَحَلِّ
وُجُوْبِهَا أَوْ فَضُلَ عَنْهُمْ شَيْءٌ وَجَبَ نَقْلُهَا أَوِ الْفَاضِلِ إِلَى
مِثْلِهِمْ بِأَقْرَبِ بَلَدٍ إِلَيْهِ. فَإِنْ عُدِمَ بَعْضُهُمْ أَوْ فَضُلَ
عَنْهُ شَيْءٌ رُدَّ نَصِيْبُ الْبَعْضِ أَوِ الْفَاضِلِ عَنْهُ عَلَى
الْبَاقِيْنَ إِنْ نَقَصَ نَصِيْبُهُمْ عَنْ كِفَايَتِهِمْ، فَإِنْ لَمْ يَنْقُصْ
نَقَلَ ذلِكَ إِلَى ذلِكَ الصِّنْفِ بِأَقْرَبِ بَلَدٍ إِلَيْهِ.
“Maka apabila tidak
ada Asnafus Tsamaniyah pada tempat/daerah dimana zakat tersebut atau masih ada
kelebihan barang zakat (setelah dibagi), maka wajib memindahkan barang itu atau kelebihannya pada daerah yang terdekat.
Dan apabila sebagian mustahiq tidak ada atau barang zakat masih berlebihan maka
hendaknya di salurkan pada sebagian atau kelebihan itu kepada mustahiq yang
lain, maka apabila masih ada, hendaknya dipindahkan atau di berikan pada
mustahiq di lain daerah yang terdekat dari daerah zakat tersebut.”[43]
[1] Panduan
Praktis Zakat Empat Madzhab, hal.48
[2] Hasyiyah Asy-Syekh Ibrohim Al-Bajuri ‘Ala
Fathil Qorib, hal.532 cetakan Darul Kutub Ilmiyah Beirut-Lebanon
[3] Bulughul Marom Min Adillatil Ahkam,
hal131-132 maktabah Asy-Syuruq Ad-Dauriyah
[4] Ibid
[5] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, juz 23 hal.336
dicetak dan diterbitkan oleh Kementrian Waqof dan Urusan Islam Kerajaan Quwait.
[6] Tausyih ‘Ala Ibni Qosim ,hal.107 penerbit
Toko Kitab “Al-Hidayah” Surabaya dan Al-Muqoddimatul Hadromiyah hamisy Min
hajil Qowim, hal. 110-111
[7] Tausyih ‘Al Fathil Qorib Al-Mujib, hal.
107
[8] Anwarul Masalik, hal. 712
[9] Hasyiyah Qolyubi, hal.37
[10] At-Tadzhim fi Adillatil Ghoyah wat Taqrib,
hal. 98
[11] Mukhtashor Tarsyidil Bunyan, hal. 205
[12] Panduan praktis zakat empat madzhab, hal.
49
[13] Ianatuth Thalibin, juz2 hal. 174
[14] Ianatuth Tholibin, juz 2 hal 174-175
[15] Hasyiyah Bajuri, juz 1 hal. 282
[16] Kifayatul Akhyar, Juz 1 Hal. 197
[17] Idem
[18] idem
[19] idem
[20] Kifayatul Akhyar, Jus I Hal. 198
[21] Al Iqna’, Jus I Hal. 199
[22] Fathul Mu’in, Hal. 52
[23] Fathul Mu’in, Hal. 52
[24] Fathul Mu’in, Hal. 53
[25] Tafsir Munir, Karya Syekh Nawawi Al
Bantani, Juz I/Hal. 344
[26] Solusi Hukum Islam Keputusan Mu’tamar,
Munas NU/ Hal. 6-7
[27] Rohmatul Ummah, Hamisy Al Mizanul Kubro,
Juz I, Hal. 113
[28] Idem
[29] Fathul Mu’in, Hal. 53
[30]
Kifayatul Akhyar, juz 1
[31] Ibid,
hal 202
[32]
Ghoyatul Bayan, hal. 151
[33]
Al-Muhadzab, Juz 1 hal.174
[34] ‘Uqudul
Lujain, hal.5
[35] Idem,
hal.107
[36] Fathul
Mu’in, hal.211-212
[37] Solusi Hukum Islam Keputusan Mu’tamar,
Munas NU/ Hal. 294-295
[38] Syaraful Umatil Muhammadiyyah
[39] Anwarul Masalik, Hal. 114
[40] Bughyatul Musytarsidin, Hal. 105
[41] I’anatut Tholibin, Juz II, Hal. 187
[42] Fathul Mu’in
[43] Nihayatuz Zain, Hal. 182
boleh kah seseorang menerima lebih dari satu bagian dan apa hukum nya.
BalasHapusBoleh
HapusBolehkah beras dari zakat fitrah sebagian di bagikan ke fakir miskin ..dan sebagian itu di jual oleh amil zakat dan uangnya untuk kas musholla.
BalasHapusTidak boleh. Harus diberikan kepada yang berhak
HapusAsalamualaikum...
BalasHapusPak ustadz
Mohon penjelasan apakah anak yatim tidak termasuk asnap penerima zakat fittah
Walaikumsalam. Tidak termasuk yang berhak.
Hapus1.fakir
2.miskin
3.amil
4.ghorim (duwe utang)
5.ibn sabil
6.jihad fi sabilillah
7.mualaf
8.budak riqob (dijanjikan merdeka)
mau tanya ustad ini saya kan biasa menjadi panitia zakat di daerah langgar saya, dan saya membagiikannya sesuai dengan 8 golongan, lalu yang jadi pertanyaan saya, waktu saya membagikan ke salah satu muzakki, beliaunya pulang ke kampung halaman, kemudian saya titipkn ke tetangganya bolehkah seperti itu ustad, terima kasih assalamualaikum
BalasHapusbolehkah zakat fitrah yang sudah diperoleh atau sudah terkumpulkan lalu dibagikan lagi kepada orang orang yang berzakat tersebut..maksudnya orang yang berzakat dibagikan zakat atau mendapat zakat walau pun orang itu kaya..
BalasHapusAssalamualaikum ustadz
BalasHapusSaya mau tanya..d kp saya ada yang jadi amilin tetapi dia sebagai pengajar d mesjid apakah boleh diberikan hak amilin dan skaligus hak fisabilillah ??